Halaman

Selasa, 01 Juni 2010

Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW

Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.
Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa'ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. "Kenapa tanganmu?," tanya Rasul kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah," jawab Sa'ad, "Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku". Seketika itu beliau mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata, "Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka".
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya." Mendengar itu Rasul pun menjawab, "Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah." (HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Tidak berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (QS Ar-Ra'd [13]: 11). Dalam ayat lain diungkapkan pula bahwa seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS Al-Najm [53]: 39).
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini "rela" mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya.
Setidaknya ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW. Pertama, sebagai rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Alquran; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
Kedua, sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan diplomatik "negara-negara sahabat". Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya. Ketiga, sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi perang, persedian logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
Keempat, sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap sebelas istri, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
Kelima, sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasulullah SAW terbukti dengan "terpikatnya" konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid, yang kemudian melamarnya menjadi suami.
Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (2000: 5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun.
Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim maupun non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah paling lainnya.
Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan sang 'Nabi Akhir Zaman' ini? Pertama, Rasul selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan tidak asal-asalan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya".
Kedua, dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan skala prioritas. Ketiga, Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. "Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak tahu kapan ditutupkan kepadanya," demikian beliau bersabda.
Keempat, dalam bekerja Rasul selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus. Kelima, Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas. Keenam, Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita bersama.
Ketujuh, Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi nilai tambah bagi diri dan umatnya. Dan yang terakhir, Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT. Inilah kunci terpenting.
Semoga Allah memampukan kita untuk meneladani etos kerja Rasulullah SAW. Amiin .

5 PRINSIP KERJA SEORANG MUSLIM (ETOS KERJA DALAM ISLAM)

1. Kerja, aktifitas, ‘amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada ni’mat Allah SWT. (QS. Saba’ [34] : 13)
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ {سبأ/13}
2. Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil: hasanah fi ad-dunyaa dan hasanah fi al-akhirah – QS. Al-Baqarah [002] : 201)
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ {البقرة/201}
3. Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki: al-qawiyy dan al-amiin. QS. Al-Qashash [28] : 26
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ {القصص/26}
Al-qawiyy merujuk kepada : reliability, dapat diandalkan. Juga berarti, memiliki kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual)
Sementara al-amiin, merujuk kepada integrity, satunya kata dengan perbuatan alias jujur, dapat memegang amanah.
4. Kerja keras. Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga berhasil. Kita dapat meneladani ibunda Ismail a.s. Sehingga seorang pekerja keras tidak mengenal kata “gagal” (atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda)
5. Kerja dengan cerdas. Cirinya: memiliki pengetahuan dan keterampilan; terencana; memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada. Seperti yang tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman a.s.
Jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka etos kerja seorang Muslim bersumber dari visinya: meraih hasanah fid dunya dan hasanah fi al-akhirah.
Jika etos kerja difahami sebagai etika kerja; sekumpulan karakter, sikap, mentalitas kerja, maka dalam bekerja, seorang Muslim senantiasa menunjukkan kesungguhan

ISLAM, IDEOLOGI DAN ETOS KERJA DI INDONESIA

Abdurrahman Wahid
Dalam muktamar Nadhlatul Ulama (NU) tahun 1935 di Banjarmasin, forum menyampaikan permintaan fatwa, bagaimana status negara
Hindia Belanda dilihat dari pandangan agama Islam, karena ia
diperintah oleh pemerintah yang bukan Islam dan orang-orang
yang tidak beragama Islam? Dari sudut pandang agama Islam,
wajibkah ia dipertahankan bila ada serangan luar?

Jawaban dari pertanyaan itu cukup menarik. Negara Hindia
Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar, sebagai
kewajiban agama, karena negara tersebut menjamin kebebasan
warga negara untuk melaksanakan ajaran agama Islam. Bahan
pengambilan atau sumber rujukan yang digunakan adalah Bughyah
al-Mustarsyidin, sebuah kitab agama yang dikarang oleh
Al-Hadrami.

Fatwa di atas menyentuh dua hal yang sangat penting bagi
kehidupan sesuatu bangsa atau masyarakat. Di satu pihak, Islam
mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan
ajaran agama mereka, sebagai conditio sine qua non bagi
penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut, dan dengan
demikian memberikan tolok ukur yang jelas bagi kaum muslimin
dalam kehidupan mereka. Di pihak lain, Islam membiarkan
hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem
pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik
mereka ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung
memungkinkan kaum muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan
kepada ajaran Islam, di samping kesetiaan kepada negara yang
bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang berkembang
adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi
keagamaan cukup kuat, seperti yang kita lihat pada kaum
muslimin dewasa ini di negeri kita. Wawasan kebangsaan dan
orientasi keagamaan itu saling mendukung, bukannya saling
menolak, seperti yang masih terjadi di negeri-negeri lain
hingga saat ini.

Walaupun secara sepintas lalu telah tercapai rekonsiliasi
definitif antara Islam dan negara, dalam hal ini terutama
dengan ideologi Pancasila, namun bukan berarti bahwa
permasalahan hubungan antara Islam dan negara di negeri kita
telah terselesaikan secara tuntas. Sebuah sisi dari hubungan
itu masih memungkinkan timbulnya friksi antara kepentingan
kaum muslimin dan kepentingan negara. Sisi itu adalah
senjangnya watak yang dimiliki keduanya. Islam, sebagai agama,
memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan
maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti
Republik Indonesia tidak akan mungkin memberlakukan
nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang
berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan
kata lain, tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh
Islam dap at diberlakukan dalam kehidupan bernegara kita di
negeri ini.

Kenyataan ini mendorong kita untuk mencari landasan hubungan
antara Islam dan negara dalam bentuk yang lebih baik, dari
hanya sekedar kebebasan melaksanakan ajaran Islam bagi kaum
muslimin, seperti yang selama ini mengatur kehidupan kita
sebagai bangsa. Dengan sadar harus dilakukan upaya untuk
mencari tali pengikat yang lebih kokoh bagi kehidupan kaum
muslimin negeri ini dalam kaitannya dengan ideologi negara.
Sebenarnya upaya ke arah itu telah dilakukan oleh berbagai
kalangan, namun hinggga saat ini hasilnya masih belum
menunjukkan has il yang final . Apa yang akan dipapark an
selanjutnya dalam tulisan ini hanyalah merupakan sebuah upaya
lanjutan belaka, dan sama sekali tidak memiliki pretensi telah
menemukan jawaban yang memuaskan. Bahkan justru sebaliknya, ia
akan mengundang lebih banyak masalah, yang diharapkan akan
mampu merangsang kegiatan kolektif kita dalam mencari jawaban
final di kemudian hari.

Seorang pemikir muslim yang melakukan rintisan ke arah
rekonsiliasi antara agama dan negara itu adalah Syeikh Ali
Abdurraziq dari Mesir. Pada tahun tigapuluhan, ia menyatakan
bahwa Islam hanya mengenal tiga sendi kehidupan bernegara,
yaitu keadilan ('adalah), persamaan (musawah) demokrasi
(syura). Apabila suatu negara telah memiliki ketiga sendi
kehidupan itu, dengan sendirinya ia dapat diterima
keabsahannya oleh Islam. Dengan segera ia mendapatkan reaksi
sangat keras dari semua kalangan, baik ulama maupun
cendekiawan muslim lainnya, apalagi dari kalangan aktivis
gerakan Islam. Ia diusir dari lingkungan Al-Azhar, tempat ia
mengajar sekian tahun lamanya, dan bukunya dibakar serta
dilarang beredar.

Mengapa demikian besar reaksi yang dihadapi? Tidak lain,
karena ia mengkesampingkan sisi normatif dari Islam, yang
telah meletakkan demikian banyak ketentuan yang terkait dengan
kehidupan masyarakat, dalam bentuk hukum agama (fiqh). Dari
fiqih itu lalu dikembangkan wawasan hukum kenegaraan yang
dikenal dengan sebutan Hukum Islam, seringkali dikenal dengan
nama lain, yaitu Syari'ah. Ali Abdurraziq melihat negara
sebagai instrumen yang terpisah dari hukum agama, dan dengan
demikian secara praktis ia memperkenalkan gagasan negara
sekuler dalam cakrawala pemikiran kaum muslimin tentang negara
dan konstitusi.

Dalam negara seperti itu, hukum agama tidak memperoleh tempat,
karena hukum yang diberlakukan adalah hukum nasional negara
itu. Islam dilepaskan dari fungsi normatifnya, dan tinggal
berfungsi filosofis belaka, yaitu sebagai dasar negara, dan
dengan demikian tidak memperoleh keabsahan sebagai sumber
hukum yang bersifat langsung. Dalam ungkapan lain, Islam hanya
berfungsi inspiratif bagi kehidupan warga negara secara
keseluruhan. Tanpa membenarkan atau menyalahkan Ali
Abdurraziq, jelas bagi kita bahwa reaksi hebat itu merupakan
bukti masih kuatnya pandangan yang berkebalikan dari
pandangannya itu. Masih cukup besar jumlah kaum muslimin yang
menentang pandangan sekuler tentang hubungan agama dan negara.
Juga terbukti masih kuat keinginan untuk memberlakukan Hukum
Islam ini dalam kehidupan bernegara, melalui legislasi ajaran
Islam dan menjadikan produknya sebagai hukum Nasional.

Gema dari tuntutan seperti itu masih terus bergaung, lebih
lima puluh tahun setelah Ali Abdurraziq menuliskan karyanya.
Di luar Indonesia, kita lihat betapa saat ini para aktivis
gerakan Islam menuntut pemberlakukan Hukum Syari'ah, yang akan
melarang Benazir Bhuto menjadi perdana menteri lagi di
Pakistan. Pada saat ini muncul kasus seorang pria yang oleh
pengadilan dilarang mengawini istri kedua, karena tidak
memenuhi persyaratan untuk itu, namun oleh banyak kalangan
(termasuk penguasa salah satu negara bagian), keputusan itu
dianggap melanggar ketentuan agama yang tidak memberlakukan
persyaratan apapun bagi perkawinan dengan istri kedua.

Dalam memahami hubungan antara agama dan negara menjadi jelas
bagi kita, bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan pesat dalam
pemikiran keagaman maupun kenegaraannya. Ideologi Pancasila
telah didudukkan secara tepat oleh kaum muslimin, yaitu
menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum
muslimin. Antara ideologi sebagai landasan konstitusional
tidak dipertentangkan dengan agama, tidak mencari penggantinya
dan tidak diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara
teoritik tidak akan diberlakukan undang-undang maupun
peraturan lain yang bertentangan dengan ajaran agama di negara
ini. Secara keseluruhan, Islam berfungsi dalam kehidupan
bangsa dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah sebagai akhlaq
masyarakat (etika sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk
kedua adalah partikel-partikel dirinya yang dapat diundangkan
melalui proses konsensus (Undang-undang seperti Undang-undang
No. 1/1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama
No. 7/1989).

Dengan mengakui wewenang Hukum Islam untuk mengatur kehidupan
warga negara, melalui "filter" berupa Hukum Nasional, watak
kehidupan bernegara dan berbangsa terhindar dari orientasi
sekuler, seperti yang dikhawatirkan dapat terjadi bila diikuti
pendapat Ali Abdurraziq. Situasi seperti ini memang tidak
sepenuhnya memuaskan bagi mereka yang menghendaki pelaksana
ajaran Islam secara utuh sebagai produk legislatif formal,
atau dengan istilah lain yang menghendaki pelaksanaan
sepenuhnya Hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Bagi
pandangan seperti itu, memang tidak akan ada yang memuaskan
selain berdirinya sebuah Negara Islam, sedangkan dalam
kenyataan yang dapat kita dirikan adalah Republik Indonesia.

Masalahnya juga belum selesai bagi mereka yang telah dapat
menerima kenyataan yang terjadi, dan dapat menerima kehadiran
Pancasila dalam konteks yang diuraikan di atas. Pancasila
masih harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan
prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut Islam,
antara lain seperti yang dirumuskan Ali Abdurraziq. Pancasila
harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis,
menganut paham perlakuan sama di muka undang-undang dan
memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila harus
mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi kepada
pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai
kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Itulah
kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi kita,
Pancasila. Kunci itu diperoleh dari lima buah jaminan dasar
yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat: jaminan
dasar akan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian
keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.

Lembaga-lembaga kenegaraan harus disusun berdasarkan acuan
yang jelas akan mewujudkan kekuasaan pemerintah yang terbatas,
bukan kekuasaan tanpa batas. Untuk itu kedaulatan hukum atas
lembaga pemerintahan maupun kemasyarakatan, serta atas
individu maupun kelompok warga negara, harus dijaga sekuat
mungkin. Penjagaan kedaulatan hukum itu hanya dimungkinkan,
apabila kebebasan berpendapat dan berserikat benar-benar
dihormati. Karenanya, jalinan antara kedaulatan hukum,
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat merupakan kunci
yang mutlak harus diberikan Islam kepada ideologi negara dan
bangsa kita.

Dalam konteks sumbangan Islam kepada ideologi, dengan
sedirinya tidak bisa diabaikan kebutuhan akan penumbuhan etos
kerja yang benar, yang akan membawa kepada wawasan ideologi
seperti dikemukakan di atas. Etos kerja itu harus dimulai
dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada
masa depan bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti
itu, tidak akan mungkin ideologi melakukan transformasi sosial
yang diperlukan untuk melintasi garis kemiskinan menuju kepada
kemakmuran di masa depan. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan,
kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika
masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan
yang teracu ke masa depan yang lebih baik.

Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan yang
cukup kepada kompetisi dan capaian (achievement). Orientasi
ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat
profesionalisme yang menjadi tulang-punggung masyarakat
modern. Semangat menjunjung tinggi profesionalisme adalah
titik kepentingan dari transformasi sosial yang disebutkan di
atas. Islam menjunjung tinggi profesionalisme, seperti dapat
dibuktikan dengan berbagai cara yang tidak disebutkan di sini.
Karena itu Islam mau tidak mau harus mengembangkan dalam
dirinya etos-etos kehidupan yang berwatak transformis

Islam Dan Etos Kerja

Tidak sempurna memahami atau salah memahami ajaran justru akan membuat penganut ajaran tersebut terperangkap dalam pandangan dan praktek di luar ajaran. Memahami Islam hanya sebatas ritual ‘ubudiyyah atau upacara peribadatan yang sempit ternyata mengakibatkan tidak sedikit muslim mengabaikan banyak tuntunan yang disampaikan Islam lewat dua sumber utamanya, yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw..
Allah Ta’ala berfirman: “Dan kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (An-Nahl : 89).
Rasulullah saw. tidak membiarkan suatu perkara pun yang mendekatkan diri kita kepada Allah melainkan beliau menyuruh kita untuk melakukannya; dan tidak membiarkan suatu perkara pun yang menjauhkan diri kita dari Allah melainkan beliau melarang kita untuk melakukannya. Sehingga, beliau meninggalkan kita di atas mahajjah (jalan lurus; petunjuk) yang terang, malamnya sama seperti siangnya, tidak ada seorang pun yang sesat dari petunjuk itu melainkan ia seorang yang binasa—hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.
Dari itu maka seluruh sisi yang dipesankan Islam kepada pemeluknya, berada pada satu rotasi, yaitu ‘ubudiyyah dan penghambaan yang total kepada Allah Ta’ala. Islam sendiri menolak pemecahan pesan-pesannya. Al-Qur’an mengecam keras sikap Bani Isra’il yang tidak beriman dengan seluruh pesan-pesan syariat mereka: “Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan yang pantas bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah : 86). Untuk itu Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.“ (Al-Baqarah : 208).
Ada lima pilar Islam yang dikenal dengan rukun Islam. Semangat lima pilar ini mengalir deras dalam berbagai kewajiban dan larangan yang telah ditetapkan oleh Islam secara tegas, dan dalam berbagai perbuatan yang ditujukan untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Semangat lima pilar ini adalah penyerahan diri serta tunduk patuh secara total kepada Allah Ta’ala semata (islamul wajhi lillah). Dari itu orang yang tidak melaksanakan shalat dengan orang yang berdusta, dalam Islam, adalah pada posisi yang sama, yaitu pelaku maksiat. Orang yang mengingkari kewajiban shalat dan kewajiban berkata jujur dalam Islam dihukum sebagai seorang yang telah mengingkari perkara-perkara yang diketahui secara pasti bagian dari agama.

Kewajiban Bekerja Dalam Islam
Salah satu bagian dari syari’at Islam adalah kewajiban bekerja, dan keharaman berpangku tangan serta bermalas-malasan bagi orang yang berkemampuan untuk bekerja.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang mu’min, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah : 105).
Allah juga berfirman: “Apabila shalat telah dilaksanakan, makabertebanlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah:10)
Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang mengambil tali-talinya lalu pergi ke bukit dan memikul setumpuk kayu di atas punggungnya lantas menjualnya sehingga dengan demikian Allah mencukupkan baginya [rezeki] yang dibutuhkan (untuk hidupnya) itu adalah lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang-orang lain baik mereka memberikan maupun tidak.” (Hadits riwayat Al-Bukhari)
Bahkan Allah Ta’ala telah memerintahkan para nabi-Nya untuk berusaha mencari rezeki. Firman Allah kepada Nabi Muhammad saw.: “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (Asy-syarh : 7-8).
Allah juga berfirman: “Sesungguhnya pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan – urusan yang panjang.” (Al-Muzammil : 7).
Dan firman Allah Ta’ala kepada keluarga Dawud: “Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba – hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba’ : 13).
Para nabi merupakan contoh nyata dari sikap menghargai nilai bekerja bagaimanapun kecil pekerjaan itu. Nabi Nuh a.s. adalah seorang pemahat. Ia memahat sendiri kapalnya. Nabi Dawud adalah seorang pandai besi. Ia membuat perisai dengan tangannya dan Allah Ta’ala telah melunakkan besi untuknya. Nabi Musa a.s. sepuluh tahun mengembala kambing milik Nabi Syu’aib a.s. sebagai mahar nikah salah seorang putrinya. Nabi Muhammad saw. mengembala kambing, memperdagangkan harta Sayyidah Khadijah r.a. dan lainnya.
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang tidak akan dapat memakan makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabiyullah Dawud makan dari [hasil] kerja tangannya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berusaha di muka bumi ini agar dapat memperoleh rezeki yang telah ditentukan untuk mereka. Ini dikarenakan Allah telah mengatur sebab seseorang memperoleh rezeki adalah lewat ia berusaha dan bekerja keras. Di samping itu, kerja juga merupakan pokok utama untuk membangun agama dan dunia sekaligus, dan merupakan wahana vital untuk melaksanakan berbagai amal ibadah lainnya. Pahala dan kedudukan seorang hamba di sisi Allah Ta’ala akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia berusaha dan bagaimana keikhlasannya dalam berusaha.
Allah Ta’ala berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Al-Mulk : 15).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Ia telah mempersiapkan bumi dan menyediakannya agar dapat dimanfaatkan sebagai tempat manusia bergerak dan berusaha. Bumi telah ditundukkan untuk dapat merespon aktivitas manusia sehingga ia dapat mengeluarkan rezeki bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Allah telah memuliakan manusia, menganugerahkan kepadanya berbagai nikmat sehingga ia lebih tinggi dari seluruh makhluk-Nya yang lain. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Kepadanya dipikulkan beban untuk memakmurkan bumi, untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman, bukan untuk merusak dan menumpahkan darah. Beban besar ini tidak akan terlaksana apabila manusia berdiam diri, bermalas-malasan. Beban ini pun bukan diarahkan untuk sebagian manusia, tidak sebagian yang lain. Di setiap pundak manusia terpikul beban ini. Dan karena itu setiap manusia yang memiliki tenaga dan kemampuan untuk bekerja, tapi ia memilih untuk tidak bekerja, maka ia telah menyalahi amanat yang telah dibebankan oleh Pencipta dan Pemberi berbagai anugerah kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dia telah menjadikan kamu dari tanah dan menjadikanmu pemakmurnya.” (Hud:61)
Maknanya: Allah menuntut manusia untuk membangun dan menghidupkan seluruh manifestasi peradaban dalam berbagai sektor kehidupan. Setiap mu’min yang melaksanakan tuntutan tersebut, maka ia telah melaksanakan suatu ‘ubudiyah kepada Allah Ta’ala sekalipun ia seorang yang sehari-harinya bekerja sebagai kuli bangunan atau pesuruh di sebuah perkantoran.
Rasulullah saw. yang merupakan teladan umat manusia di berbagai sisi hidup beliau juga telah menunjukkan berbagai teladan yang amat luhur dalam hal pemanfaatan waktu, perencanaan, ketekunan dan ketelitian dalam berbuat, serta pembagian tugas yang tepat dan sesuai keahlian masing-masing para sahabat. Karena itu semua maka Nabi saw. dalam waktu yang relatif singkat dapat mewujudkan berbagai kerja nyata yang belum tentu dapat diwujudkan oleh suatu balatentara yang memiliki fisik tangguh, kecerdasan serta keahlian.
Nilai suatu kerja juga demikian tinggi dalam pandangan para sahabat Rasulullah saw.. Abu Bakr r.a. adalah seorang pedagang kain dan pakaian. Pada hari ia dibai’at sebagai khalifah, ia pergi ke pasar untuk mencari sesuatu yang bisa dikerjakan di pasar sekalipun ia seorang hartawan pada masa sebelum Islam, tapi pada masa Islam, harta kekayaannya telah diinfakkan di jalan menegakkan Islam. Melihat hal itu para sahabat lain melarang Abu Bakr untuk berdagang lantaran kuatir akan mengganggu kerja berat yang sedang pikulnya. Lalu dibiayai secukup keperluan pokok hidupnya dari Baitul Mal. Dan sebelum meninggal Abu Bakr berpesan untuk mencabut dan mengembalikan jatah biaya hidup tersebut ke Baitul Mal. Demikian pula para sahabat-sahabat yang lain; ‘Umar adalah seorang agen/perwakilan; ‘Utsman dan ‘Ali kedua-duanya pedagang; ‘Amru bin Al-‘Ash tukang potong daging.
‘Umar bin Al-Khaththab r.a. pernah mengatakan, “[Kuharap] jangan ada di antara kalian orang yang berpangku tangan lalu berdoa’: Ya Allah berikanlan kepada rezeki. Sebab kalian tahu bahwa langit tidak menurunkan emas dan perak.”
Langit menurunkan hujan. Bumi berinteraksi dengan tetesan hujan yang jatuh di atasnya. Tanpa usaha dan olahan tangan manusia, maka tidak akan ada hasil, takkan ada panen, takkan ada bekal, takkan berlangsung kehidupan, takkan ada gerak di muka bumi. Andaikata pun langit menurunkan emas dan perak, tapi jika tanpa ada tangan-tangan yang bekerja, sungguh manusia pun akan kelaparan, telanjang, tak bertempat tinggal, tak bisa menyembuhkan dirinya dari penyakit dan sebagainya. Oleh karena itulah Islam menekankan kerja produktif dan melarang penggunaan harta kekayaan pada hal-hal yang tidak bermanfaat, untuk menutup keperluan dan kebutuhan masyarakat.
Suatu kali ‘Umar r.a. melihat Zaid bin Maslamah sedang menanam tanaman di tanahnya, maka ‘Umar mengatakan kepadanya, “Benar sekali perbuatanmu itu! Engkau tidak menggantungkan hidupmu kepada orang lain adalah cara terbaik untuk memelihara agamamu, dan termulia untuk menjaga martabat dirimu.”
‘Umar r.a. juga pernah mengatakan, “Sesungguhnya aku memandang seorang pemuda, maka aku kagum kepadanya. Lantas aku menanyakan kepadanya apakah dia punya suatu pekerjaan. Lalu dijawab tidak, maka jatuh nilai pemuda itu dalam pandanganku.”
Islam tidak hanya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang ahli ibadat dan berperilaku zuhud semata tapi Islam juga hendak mewujudkan masyarakat yang bekerja dan penuh dinamika. Masyarakat yang kuat agama dan dunianya. Masyarakat yang mampu menghidupi dirinya sendiri lewat tangan-tangan anggotanya yang tekun, otak-otak yang kreatif dan tenaga-tenaga yang berpengalaman. Masyarakat konsumtif yang melulu menggantungkan hidupnya pada produk masyarakat lain adalah masyarakat yang tidak bertahan lama, lemah, cenderung tergoda dengan angan-angan palsu hingga akhirnya tersungkur dalam kemunduran serta pada gilirannya akan terpola sebagai masyarakat pengekor bagi masyarakat yang dinamis, maju, kaya, dan cerdas.
Suatu kali ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal bersifat wara’ dan zuhud, “Bagaimana pendapat Anda mengenai seseorang yang duduk-duduk saja di rumah atau mesjidnya sambil berkata, ‘Aku tidak mau mengerjakan suatu pekerjaan pun sampai rezeki datang sendiri kepadaku.’?” Imam Ahmad serta merta menjawab, “Itu orang yang tidak berpengetahuan. Tidakkah ia tahu bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rezekiku di bawah bayang tombakku.”
Rasulullah saw. sendiri bekerja mencari rezeki. Tombak adalah alat untuk bekerja; menyemai, berburu dan lainnya. Bayang tombak akan ada saat dipergunakan untuk bekerja di siang hari. Suatu ungkapan yang sarat makna, penuh nuansa dinamis.

Amal shalih
Kerja atau perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala adalah perbuatan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat sekaligus (amal shalih). Allah berfirman: “Dan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, pasti akan Kami hapus kesalahan – kesalahannya dan mereka pasti akan Kami beri balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.“ (Al-’Ankabut : 7).
“Dan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka pasti akan Kami masukkan ke dalam (golongan) orang yang saleh.“ (Al-’Ankabut : 9).
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia – nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki – laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain…” (Al ’Imran : 195).
“Sesungguhnya orang – orang yang beriman, orang – orang Yahudi, Sabi-in dan orang – orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.” (Al-Ma’idah : 69).
Sementara perbuatan mengganggu, merugikan dan menekan orang lain, apalagi menguasai hidup orang lain serta mengeksploitasi tenaganya secara semena-mena untuk keuntungan pribadi adalah amal fasid (buruk). Bahkan seluruh perbuatan yang tidak bermanfaat adalah amal fasid—sekalipun tidak merugikan atau membahayakan orang lain secara langsung—oleh karena tenaga dan waktu yang terbuang percuma pada sesuatu yang tidak bermanfaat padahal waktu dan tenaga adalah modal utama untuk mencari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Firman Allah Ta’ala: “Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan : 23).
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ’Ad? (yaitu) penduduk Iram (ibukota kaum ’Ad) yang mempunyai bangunan – bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri – negeri lain, dan (terhadap) kaum Samud yang memotong batu – batu besar di lembah, dan (terhadap) Fir’aun yang mempunyai pasak – pasak (bangunan yang besar), yang berbuat sewenang – wenang dalam negeri, lalu mereka banyak berbuat kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan cemeti azab kepada mereka, sungguh, Tuhanmu benar –benar mengawasi.“ (Al-Fajr : 6 – 14).
“Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka, malah mereka berbuat kezaliman di bumi tanpa (alasan) yang benar. Wahai manusia! Sesungguhnya kezalimanmu bahayanya akan menimpa dirimu sendiri ; itu hanya kenikmatan hidup duniawi, selanjutnya kepada Kamilah kembalimu, kelak akan Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.“ (Yunus : 23).
“Dan Kami telah mendatangkan kepada mereka tanda – tanda (kekuasaan) Kami, tetapi mereka selalu berpaling darinya, dan mereka memahat rumah – rumah dari gunung batu, (yang didiami) dengan rasa aman. Kemudian mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur pada pagi hari, sehingga tidak berguna bagi mereka, apa yang telah mereka usahakan.“ (Al-Hijr : 81 – 84).
Allah telah memerintahkan setiap individu dan masyarakat untuk menyucikan diri sekaligus meningkatkan taraf hidup mereka dengan amal shalih dan bermanfaat, dan melarang segala praktek usaha dan pemanfaatan harta pada jalan-jalan yang dilarang oleh syari’at serta bertentangan dengan moral seperti berusaha lewat profesi-profesi yang tidak diperbolehkan oleh syari’at atau dengan memperdagangkan benda-benda yang diharamkan. Sebab hal ini akan mengakibatkan berbagai ketimpangan dalam kehidupan masyarakat, di samping pintu akan terbuka lebar bagi berbagai penyakit sosial yang sukar untuk dipulihkan sehingga tidak jarang terlihat berbagai praktek usaha yang terlarang dalam hukum Islam justru melahirkan kemiskinan dan kemunduran di berbagai lapisan masyarakat serta menumbuhkan berbagai penyakit sosial seperti pengrusakan alam, budaya sogok menyogok, penipuan, kedengkian, egoisme, pembunuhan dan berbagai tindak kriminal.
Allah Ta’ala berfirman: “Maka adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah – mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” (Al-Qashash : 67).
“Tetapi orang – orang yang dianugerahi ilmu berkata, ‘Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang – orang yang sabar.” (Al-Qashash : 80).
“Barangsiapa kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barangsiapa mengerjakan kebajikan maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan), agar Allah memberi balasan (pahala) kepada orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dari karunia-Nya. Sungguh Dia tidak menyukai orang – orang yang ingkar (kafir).” (Ar-Rum : 44, 45).
“Dan bukanlah harta atau anak – anakmu yang mendekatkan kamu kepada Kami; melainkan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda atas apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat – tempat yang tinggi (dalam surga).” (Saba’ : 37).
Dari itu masyarakat muslim dituntut untuk berpegang kuat pada nilai-nilai keadilan yang luhur, dan atas dasar nilai-nilai ini ia bekerja dan berusaha dengan segenap tenaga sehingga ‘ubudiyyahnya kepada Allah Ta’ala adalah lewat berusaha memapankan kehidupan dunianya bukan dengan meninggalkan dunia. Sebab, masyarakat yang isi perutnya bergantung pada orang lain adalah masyarakat yang tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, bahkan dalam kondisi tertentu sampai tidak memiliki kebebasan untuk menjalankan kewajiban agamanya.

Kualitas Kerja
Kualitas dan mutu suatu kerja amat dipentingkan dalam Islam. Allah Ta’ala telah menyuruh setiap muslim untuk memperhatikan keindahan dan kesempurnaan ciptaan-Nya.
Firman Allah Ta’ala: “Dan engkau akan melihat gunung – gunung, yang engkau kira tetap ditempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sesungguhnya Ia Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (An-Naml : 88).
“Sibghah (celupan) Allah, siapa yang lebih baik sibghahnya dari pada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah.“ (Al-Baqarah : 138).
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik – baiknya.“ (At-Tin : 4).
“Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.“ (Al-Mu’minun : 14).
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis – lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?“ (Al-Mulk : 3).
“Dan kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya (ke tempat pengembalaan). Dan ia mengangkut beban – bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.“(An-Nahl: 6-8)
“Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangunnya dan menghiasinya, dan tidak terdapat retak-retak sedikitpun?“ (Qaf:6)
“Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan tidak serup. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang beriman.“ (Al-An’am:99)
Hal ini ditujukan agar muslim dapat memetik pelajaran bahwa setiap perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan hendaknya selalu memenuhi nilai-nilai standart kualitas tinggi.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai dari kamu orang yang apabila ia mengerjakan suatu pekerjaan, ia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh (sempurna).”
Untuk mewujudkan kesempurnaan dalam suatu pekerjaan, seorang muslim dituntut untuk mendalami seluk beluk bidang yang ditekuninya, berpola pikir kreatif serta gigih sehingga mampu berkarya dan produktif. Allah Ta’ala telah meletakkan hukum-hukum dan aturan-aturan bagi alam ini, yang merupakan pedukung utama kesuksesan dan kemajuan orang-orang yang kreatif dan gigih. Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah tertulis di dalam Az-Zikr (lauf mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih.” (Al-Anbiya’:105).
Orang-orang shalih yang dimaksud adalah para pekerja produktif yang dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam berbagai pekerjaan, penelitian, karya cipta dan kemajuan mereka.

Keikhlasan dalam Bekerja.
Islam menuntut keikhlasan dalam bekerja sebab ia merupakan bagian dari ’ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Bukan banyak atau sedikit hasil yang diperoleh dari suatu kerja yang menjadi ukuran nilai di sisi Allah Ta’ala, tapi justru kerja keras dan keikhlasan itu sendiri yang akan diganjar oleh Allah Ta’ala dengan pahala. Dari itu Rasulullah saw. pernah bersabda, “Apabila datang hari kiamat, dan [kebetulan] di tanganmu ada tunas kurma [yang hendak kau tanam], maka jangan sampai kagalauan hari kiamat menghentikanmu untuk menanamkan kurma tersebut.”
Demikian penting kerja sehingga dalam kondisi di mana kepanikan lumrah terjadi, keputusasaan wajar timbul dalam benak manusia, namun Rasulullah saw. melarang muslim untuk berhenti bekerja. Tidak ada alasan dengan demikian untuk menghentikan kerja. Terkadang berbagai pintu usaha terlihat seperti tertutup. Allah Ta’ala telah memberikan kepada manusia akal untuk berpikir serta berbagai karunia lainnya agar manusia dapat membenah jalan hidupnya. Perasaan diri lemah dan putus asa justru menjerumuskan manusia kepada kecurigaan bahwa Allah tidak menyayangi dirinya. Dan ini adalah suatu hal yang dilarang dalam Islam. Hasil suatu kerja, Allah yang menentukan, tapi manusia diwajibkan untuk berikhtiar dengan segenap kemampuannya sebagai suatu wujud ‘ubudiyyah kepadanya. Bahkan ‘ubudiyyah yang sederajat dengan berjihad di jalan Allah.
Pernah suatu kali Rasulullah saw. sedang duduk bersama para sahabat beliau. Lalu, lewat seorang pemuda di depan mereka. Seorang pemuda yang gagah dan penuh energik. Pagi sekali ia pergi untuk bekerja mencari rezeki. Para sahabat saling komentar,“Sayang sekali pemuda itu! Andaikan tenaga muda dan kegagahannya itu dipergunakan fi sabilillah (bejihad di jalan Allah)!! Namun Rasulullah saw. ketika itu menegur mereka,“Jangan kalian berkata demikian! Sesungguhnya apabila ia berusaha mencari rezeki untuk dirinya agar dia tidak perlu meminta-minta dan menggantungkan hidupnya kepada orang lain, maka dia itu sedang fi sabilillah. Dan apabila ia berusaha mencari rezeki untuk menafkahkan kedua orang tuanya atau anak-anaknya yang lemah (karena masih kecil atau sebab lainnya) supaya mereka dapat hidup berkecukupan dan tidak perlu bergantung pada orang lain, maka dia sedang fi sabilillah. [Tapi] apabila pergi berusaha karena untuk berbangga-bangga dan bermegah-megahan, maka ia sedang di jalan syaitan.“ (Hadits riwayat At-Thabrani).
Nabi saw. menyetarakan perbuatan orang yang berusaha untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan jihad fi sabilillah yang merupakan salah satu ’ubudiyyah tertinggi di dalam Islam. Apabila berusaha merupakan salah satu praktek ’ubudiyyah, maka keikhlasan niat untuk mencapai ridha Allah Ta’ala adalah sesuatu yang paling pokok atau rukun agar ’ubudiyyah tersebut diterima oleh Allah.
Dengan keikhlasan niat yang demikian, seorang muslim akan terus menjaga gerak geriknya dalam berusaha agar ia tidak sampai melakukan sesuatu di luar garis batas syari’at Allah. Rasulullah saw. telah bersabda,“Tidak ada sesuatu perbuatan yang aku ketahui akan mendekatkan diri kalian kepada syurga serta menjauhkan kalian dari neraka melainkan aku telah menyuruh kalian untuk mengerjakannya. Dan tidak ada sesuatu perbuatan yang aku ketahui akan menjauhkan diri kalian dari syurga dan mendekatkan kalian kepada neraka melainkan aku telah melarang kalian mengerjakannya. Sesungguhnya Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) telah membisikkan ke dalam hatiku bahwa seseorang tidak akan mati sampai dengan ia memperoleh rezekinya sekalipun tidak langsung datang. Maka bertaqwalah kepada Allah dan baguskan diri kalian pada saat berusaha mencari rezeki! (Hadits riwayat Ahmad)
Membaguskan diri ketika mencari rezeki, yang dimaksud oleh Nabi saw. dalam hadits ini adalah dengan tetap memiliki harga diri, tidak bersikap munafik dan menjilat; dengan penuh ketenangan batin dalam iman kepada Allah Ta’ala; serta melalui jalan-jalan yang dianjurkan oleh syari’at sehingga terwujud sikap membaguskan diri dengan perilaku-perilaku yang mulia.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan satu sabda Rasulullah saw.,”Makanan yang paling halal dimakan oleh seorang hamba adalah hasil jerih payah tangannya apabila dia ikhlas.” (Hadits riwayat Ahmad). Yakni ikhlas dalam pekerjaan, profesi dan pelaksanaan tugasnya, serta dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dengan selalu memantau keridhaan Allah Ta’ala dalam dia berusaha baik itu menyangkut produk yang dipersembahkan bagi konsumen, pelayanan yang disuguhkan maupun lainnya.
Pekerjaan atau perbuatan bermanfaat (amal shalih) yang dilakukan atas dasar iman kepada Allah Ta’ala dan dengan hati ikhlas mengharap keridhaan-Nya akan menjamin taraf kehidupan yang baik di dunia serta pahala di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman: “Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka ia mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.” (Al-Kahf:88)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriaman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Al-Qur’an menceritakan tentang pembangunan tembok penghalang yang dilakukan oleh Dzul Qarnain untuk keamanan orang-orang yang lemah dari sekelompok orang yang suka memamerkan kekuatan di depan korban-korban mereka. Suatu pembangunan yang dilakukan bukan demi tujuan-tujuan materialistis, politis, atau duniawi lainnya, tapi hanya demi kepentingan rakyat kecil dan lemah. Ketika rakyat lemah ini menawarkan upah kepadanya, Dzul Qarnain menjawab: “Apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan, agar aku dapat membuat dinding penghalang antara kamu dan mereka.” (Al-Kahf:95). Dengan kata lain: Tidak penting bagiku upah dari kalian. Allah telah menganugerahkan kepadaku kekuatan memimpin yang wajib aku syukuri dan kumanfaatkan untuk meraih ridha-Nya. Yang aku harap dari kalian hanya kerja sama dengan mengerahkan segenap tenaga agar apa yang kita inginkan tercapai. Kualitas kerja tim Dzul Qarnain tergambar dari sifat tembok yang dibangun mereka: “Maka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya.” (Al-Kahf:97). Sesudah Dzul Qarnain merampungkan tugas tersebut, ia sadar bahwa segenap tenaga dan kekuataan dalam kerja tersebut adalah berasal dari Allah Ta’ala, dan ia menyampaikan kepada kaum tesebut bahwa tembok ini adalah rahmat dari-Nya dan tidak akan bertahan untuk selamanya; Dzul Qarnain seperti ingin mengatakan bahwa sekalipun tembok ini demikian kokoh, tapi ia tidak akan dapat menghentikan kekuasaan Allah Ta’ala. “Dia (Dzul Qarnain) berkata, “(Dinding) ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku sudah datang, Dia akan menghancurluluhkannya; dan janji Tuhanku itu benar.” (Al-Kahf:98).
Ucapan Ibrahim bin Adham, seorang tokoh sufi besar, mengenai keutamaan bekerja dan berusaha, patut untuk direnungi. Ketika orang-orang menganggap rendah Ibrahim bin Adham gara-gara ia bekerja sebagai pengumpul kayu bakar untuk menghidupi dirinya, Ibrahim bin Adham mengatakan, “Sesungguhnya telah sampai kepadaku suatu riwayat hadits bahwa barangsiapa yang bersedia berada pada status rendah demi mencari rezeki yang halal, maka wajib baginya syurga.”
Abu Sulaiman Ad-Darani yang juga tokoh sufi besar, “Ibadah menuruh hemat kami bukan dengan engkau merapatkan kaki di dalam barisan shalat sedangkan orang lain mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhan kamu. Mulai dengan dua potong rotimu, cari keduanya, kemudian baru engkau beribadat!”
Apabila kaum muslimin tidak mau merendahkan diri mereka dengan kemuliaan bekerja dan berusaha; dengan peras keringat serta banting tulang; dan dengan mengurus urusan kebutuhan pokoknya lebih dahulu, maka mereka tidak berharga sekalipun surban dan jubah yang dipakainya. Karena bagaimana pantas seorang yang mampu bekerja memperoleh kehormatan jika selalu menengadahkan tangan dan menjadi beban orang lain. Islam tidak menyuruh berpangku tangan dan bermalasan-malasan, dan karena itu Islam tidak memuliakan orang yang berperilaku demikian.
Dari itu patut bagi setiap muslim di samping memakmurkan mesjid, ia juga memakmurkan berbagai lapangan kerja. Jika kondisi muslimin lemah di bagian dunia, maka tentu musibah dan berbagai petaka pun akan melanda mereka di bagian agama dan akhirat. Perkembangan yang disaksikan selama ini dalam wujud rongrongan budaya yang masuk deras ke daerah-daerah kaum muslimin yang papa bersama bantuan-bantuan materil yang dibawa oleh pihak-pihak yang tidak terikat tali persaudaraan aqidah dengan kaum muslimin, hendaknya menjadi dentuman keras yang menjagakan insan muslim sedaerah untuk cepat bangkit berusaha dan bekerja dengan giat di berbagai lapangan sesuai keahlian masing-masing bagaimanapun rendah dan kecilnya kerja tersebut. Satu hal barangkali ada baiknya diingat sebelum akhir bahwa hari ini bukan hari raya bagi orang yang dititipkan harta berlimpah oleh Allah Ta’ala, dan bukan hari duka bagi mereka yang papa, tapi adalah hari kerja. Hartawan dengan kekayaan dan dermanya berusaha menciptakan lapangan kerja; kaum fakir dengan tenaga dan segenap kemampuannya bekerja keras. Wallahul Musta’an.

PESPEKTIF ISLAM TENTANG KERJA DAN PRODUKTIFITAS

Dalam Islam bekerja dinilai sebagai kebaikan, dan kemalasan dinilai sebagai keburukan. Bekerja mendapat tempat yang terhormat di dalam Islam. Dalam kepustakaan Islam, cukup banyak buku-buku yang menjelaskan secara rinci tentang etos kerja dalam Islam.
Dalam pandangan Islam bekerja dipandang sebagai ibadah. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bekerja adalah jihad fi sabilillah. Sabda Nabi Saw, “Siapa yang bekerja keras untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fi Sabillah”(Ahmad)
Dalam hadits Riwayat Thabrani Rasulullah Saw bersabda : Sesungguhnya, di antara perbuatan dosa, ada yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shalat, Sedeqah ataupun haji, namun hanya dapat ditebus dengan kesungguhan dalam mencari nafkah penghidupan(H.R.Thabrai)
Dalam hadits ini Nabi Saw ingin menunjukkan betapa tingginya kedudukan bekerja dalam Islam, sehingga hanya dengan bekerja keras (sunguh-sungguh) suatu dosa bisa dihapuskan oleh Allah.
Selanjutnya dalam hadits yang lain, Nabi bersabda : Sesungguhnya Allah mewajibkan kamu berusaha/bekerja, Maka berusahalah kamu ! “Sesungguhnya Allah Swt senang melihat hambanya yang berusaha (bekerja) mencari rezeki yang halal.
Berniat untuk bekerja dengan cara-cara yang sah dan halal menuju ridha Allah adalah visi dan misi setiap muslim. Berpangku tangan merupakan perbuatan tercela dalam agama Islam. Umar bin Khattab pernah menegur seseorang yang sering duduk berdo’a di mesjid tanpa mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Umar berkata, Janganlah salah seorang kamu duduk di mesjid dan berdo’a, “Ya Allah berilah aku rezeki”. Sedangkan ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak. Maksud perkataaan Umar ini adalah bahwa seseorang itu harus bekerja dan berusaha, bukan hanya bedo’a saja dengan mengharapkan bantuan orang lain.
Buruh yang bekerja secara manual sangat dipuji dan dihargai Nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw pernah mencium tangan orang yang bekerja mencari kayu, yaitu tangan Sa’ad bin Mu’az tatkala melihat tangannya kasar akibat bekerja keras. Nabi seraya berkata : Inilah dua telapak tangan yang dicintai Allah
Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda “Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah” (Hadits Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir )
Lihatlah, betapa Islam memuliakan kerja sebagai sebuah amal yang terpuji, sampai-sampai, kerja itu dapat menghapuskan dosa, kerja dapat menjeput ampunan Allah, seperti halnya puasa dan haji. Selama ini sering kali kita membahas pahala puasa dan haji yang dapat menghapuskan dosa dan meraih ampunan Allah. Ternyata, kerja keras dalam mencari nafkah juga demikian.
Dalam hadits yang lain Nabi mengatakan Apabila kamu telah selesai shalat subuh, maka janganlah kamu tidur”.
Hadits ini memerintahkan agar manusia dengan segera bekerja sejak pagi-pagi sekali, agar ia menjadi produktif. Bahkan Nabi SAW secara khusus mendo’akan orang yang bekerja sejak pagi sekali
“Ya Allah, berkatilah ummatku yang bekerja pada pagi-pagi sekali”.
Malas adalah watak yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu Nabi pernah berdo’a kepada Allah agar dilindungi dari sifat lemah dan malas.
“Ya Allah, Sesungguhnya Aku berlindung denganMu dari sifat lemah dan malas”
Al-quran mengemukakan kepada Nabi Saw dengan mengatakan, “Katakanlah (Hai Muhammad, kepada umatmu) : “Bekerjalah !”. Nabi juga diriwayatkan telah melarang pengemisan kecuali dalam keadaan kelaparan.
Monastisisme dan asketisisme dilarang dalam Islam. Monastisisme adalah pandangan atau sikap hidup menyendiri di suatu tempat dengan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Tujuannya hanya untuk bertapa tanpa niat untuk melakukan perubahan dan perbaikan masyarakat. Sedangkan asketisme adalah pandangan atau sikap hidup keagamaan yang menganggap pantang segala kenikmatan dunia atau dengan penyiksaan diri dalam rangka beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Nabi Muhammad saw pernah bersabda, bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk beribadat, tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya sendiri.
Dari nash-nash dan paparan-paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kerja dan produktifitas. Islam tidak menyukai pengangguran dan kemalasan.

ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM (3)

Mukaddimah
Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah:105).
Katakanlah: “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (diantara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang yang dzalim itu akan mendapat keberuntungan”. (QS. Al-An’am:135).
Konsep Kerja Dalam Islam
Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, semua amalan atau pekerjaan yan gmendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak; apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya.
Istilah ”kerja” dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang ataupun malam, dari pagi hingga sore, terus-menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencangkup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga, dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Dengan kata lain, orang yang bekerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, kategori ahli syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yana tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manager, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi sebaliknya Al-Qur’an menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (Al-Falah) itu adalah orang yang banyak takwa kepada Allah, khusyu shalatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS. Al-Mu’minun:1-11).
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seseorang yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Sifat-sifat diataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang didunia dan diakhirat kelak. Jika membaca hadist-hadist Rasulullah SAW. tentang ciri-ciri manusia yang baik disisi Allah, maka tidak heran bahwa diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan sunnah yang banyak dan seumpamanya.
Dalam satu hadist yang diriwayatkan oleh Umar r.a berbunyi: ”Bahwa setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkan…” Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW. bersabda: ”Binasalah orang-orang Islam kecuali mereka yang berilmu”. Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka. Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya yang amat besar…”.
Kedua hadist diatas sudah cukup menjelaskan betapa niat yang disertai dengan keikhlasan itulah inti sebenarnya dalam kehidupan dan pekerjaan manusia. Alangkah baiknya kalau umat Islam hari ini, dapat bergerak dan bekerja dengan tekun dan mempunyai tujuan yang satu, yaitu ”mardatillah” (keridhoan Allah) itulah yang dicari dalam semua urusan. Dari situlah akan lahir nilai keberkahan yang sebenarnya dalam kehidupan yang penuh dengan curahan rahmat dan nikmat yang banyak dari Allah. Inilah golongan yang diistilahkan sebagai golongan yang tenang dalam ibadah, ridha dengan kehidupan yang ditempuh, serta optims dengan janji-janji Allah.
Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW. menjadikan kerja sebagai aktualisasi dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT.
Suatu hari Rasulullah SAW. berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. ”Kenapa tanganmu?” tanya Rasul kepada Sa’ad. ”Wahai Rasullullah,” jawab Sa’ad, ”Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, ”Inilah tangan yang yang tidak akan pernah tersentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasullullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya: ”Wahai Rasullullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabillillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul pun menjawab: ”Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabillillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabillillah.” (HR. Ath-Thabrani).
Bekerja adalah menginfestasikan amal shaleh. Bila kerja itu saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT. menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Tidak berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya. Allah SWT. berfirman:
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (QS. Ar-Ra’d:11).
”Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. Al-Najm:39).
Kisah diawal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasullullah SAW. terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini ”rela” mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong. Rasullullah SAW.,dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasullullah SAW. adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasullullah SAW. sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya. Ada lima peran penting yang diemban Rasullullah SAW. yaitu:
1. Sebagai rasul.
Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Al-Qur’an; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabatnya; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
2. Sebagai kepala Negara dan Pemimpin sebuah masyarakat heterogen.
Tatkala memegang posisi ini Rasullullah SAW. harus menerima kunjungan diplomatik ”negara-negara sahabat”. Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
3. Sebagai panglima perang.
Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang, beliau harus mengorganisasi dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi perang, persediaan logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
4. Sebagai kepala rumah tangga.
Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab lahir batin terhadap para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Ditengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
5. Sebagai seorang pebisnis.
Sejak usia 12 tahun pamannya Abu thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syiria, Jordan, Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain-pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasullullah SAW. terbukti dengan ”terpikatnya” konglomerat Mekkah, Khadizah binti Khuwailid, yang kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahmah dalam bukunya, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (2000:5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negeri Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun.
Adalah kenyataan bila Rasullullah SAW. mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuan, baik itu yang muslim maupun non-muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah paling lainnya.
Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan Rasullullah SAW.?
1. Rasul selalu bekerja dengan cara yang terbaik, professional, dan tak asal-asala. Beliau bersabda: ”Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya”.
2. Dalam bekerja Rasullullah SAW. melakukannya dengan menejemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan skala prioritas.
3. Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. ”Barang siapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tahu kapan ditutupkan kepadanya,” demikian sabda beliau.
4. Dalam bekerja, Rasul selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
5. Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas.
6. Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita bersama.
7. Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedikitpun waktu, kecuali menjadi nilai tambah bagi diri dan umtnya. Dan yang terakhir, Rasullullah SAW. menjadika kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhoan Allah SWT. Inilah kunci terpenting.
Semoga Allah SWT. memberikan kemampuan kepada kita untuk meneladani etos kerja Rasullullah SAW.

ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM (2)

Mukaddimah
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Qur’an, dan Dia tidak membuat sesuatu yang tidak lurus di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang pedih dari Allah dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman, yang mengerjakan amal soleh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik. Mereka (akan menikmati kehidupan sorga) kekal di dalamnya untuk selamanya”(al-Kahfi:1-3)
Al-Qur’an adalah pedoman begi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan kesesatan (al-Baqarah :185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (al-Baqarah: 2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan untuk meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-baiknya untuk merealisasikan kehidupan yang berjaya di dunia dan memperoleh balasan yang lebih baik lagi di akhirat (an-Nahl: 97).
Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (asy-Syura: 52).
II. Pembahasan
A. Posisi Kerja dalam Kitabullah
Al-Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “amalun”, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat (derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun” dalam sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan kata “shun’un”, tidak kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik. Disebut juga dengan kata “taqdimun”, dalam 16 derivatnya, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al Qur’an mempergunakan empat istilah: “Amal Shalih”, tak kurang dari 77 kali; ‘amal yang “Ihsan”, lebih dari 20 kali; ‘amal yang “Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”, disebut 6 kali. Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran. Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang buruk pula dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (al-Maidah: 90, al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22, al-Furqaan: 23), pekerjaan yang bercampur dengan keburukan (at-Taubah:102), pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (an-Naml:4, Fusshilat: 25).
Al-Qur’an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah (al-Baqarah:207 dan 265).
Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an (Ali Imran: 31, al-Hasyr:10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
B.Kualitas Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
1. Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)
Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.
2. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
3. Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.
4. Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35,al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
5. Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.
6. Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10).
III. Penutup
Jihad Sebagai Etos
Ruhul jihad dalam bekerja mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap potensi di jalan Allah untuk kebaikan setiap orang. Ruhul mujahadah menuntut kesabaran dan kontinyuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang mampu mengungguli kesabaran para pesaing. Semua itu didukung dengan ketekunan untuk murabathah, yakni pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai (Ali Imran: 200). Ruhul jihad menolak setiap bentuk ketidakcermatan dalam memanajemen waktu yang begitu berharga; ketidak rofesionalan dalam mengelola sumber daya yang demikian mahal. Dengan tegas pula, ia menolak setiap perasaan dan sikap lemah, malas dan kurang serius, mengandalkan pada kemampuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan, lebih-lebih mencatut prestasi orang lain sebagai hasil karyanya. Sebab, cara ini analog dengan memakan harta orang lain secara batil (al Baqarah: 188 )
Secara teoritis, Kaum Muslimin mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan mendasar, karena ia bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah, dan merupakan persoalanm hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau kenyataannya masih ‘jauh panggang dari pada api’. Sebaliknya, Kaum Muslimin belum tahu kalau mereka itu mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat dahsyat, dan ketika mereka melihat prestasi suatu bangsa atau umat lain, sebagian orang Islam salut dan terpana dengan etos kerja mereka, dan kadang sambil bertanya dengan agak sinis: Adakah etos kerja dalam Islam?
Maka, di sinilah Kaum Muslimin harus kembali kepada Islam secara benar dan mengambil semangat atau ‘apinya’. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Islam adalah pangkal segala urusan hidup, tiang pancangnya shalat, dan ujung tombaknya adalah jihad.” (H.R.Thabrani)
Dengan ruhul jihad, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan, kemudian secara pasti akan mengembalikan ‘izzah atau harga dirinya, sehingga disegani oleh umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu adalah milik Allah, rasul-Nya, serta orang-orang beriman (al-Munafiqun: 8 ). Tanpa semangat jihad, mereka takkan lebih dari sekedar umat ritual yang nampak soleh, tetapi tanpa gengsi, bahkan boleh jadi inferior terhadap umat atau bangsa lain.
Semangat inilah yang hendak dirusak dan dilumpuhkan oleh pemikiran dan budaya asing, demi lestarinya pengaruh mereka terhadap negeri-negeri muslim. Kaum Muslimin dijadikan target invasi pemikiran dan budaya (al-gazwul fikri). Mereka dicuri waktunya dengan berbagai sarana dan acara hiburan yang menyuguhkan budaya santai, lembek, dan pornografis. Maka, bersemailah di bumi Kaum Muslimin hiburan-hiburan yang berselera rendah, sikap basa-basi, asal bapak senang (ABS) serta budaya minta petunjuk, memudarnya kejantanan kaum pria yang bergaya wanita, dan akhirnya membentuk sikap al wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Profil seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi familiar dan tidak kaku; perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi mengajak bertanggung jawab; disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi; kreatif dan enerjik, tetapi hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan prestasi, tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Kesenangannya adalah meminta maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah dalam rangka mengakui karunia Allah dan menghargai jasa atau prestasi orang lain.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, serta para mujahidin di segala bidang sepanjang zaman. Berkat prestasi kerja mereka itulah, peta kejayaan ummat dapat diukurkan. Semoga kita mampu bergabung dalam barisan mereka. Aamin.

ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM (1)

I. Pendahuluan
Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang.
Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi juga program aksi.
Artikel ini sendiri akan melihat pertama, kerja sebagai manifestasi program mewujudkan tujuan hidup di muka bumi yakni mencari Ridha Allah dengan mewujudkan diri sebagai khalifah di muka bumi. Kedua, karakteristik pekerjaan di masa datang yang diperlukan umat Islam.
II. Manifestasi Mencari Ridha Allah
Sebenarnya umat Islam termasuk beruntung karena semua pedoman dan panduan sudah terkodifikasi. Kini tinggal bagaiman menterjemahkan dan mengapresiasikannya dalam kegiatan harian, mingguan dan bulanan. Jika kita pandang dari sudut bahwa tujuan hidup itu mencari Ridha Allah SWT maka apapun yang dikerjakannya, apakah di rumah, di kantor, di ruang kelas, di perpustakaan, di ruang penelitian ataupun dalam kegiatan kemasyarakatan, takkan lepas dari kerangka tersebut.
Artinya, setiap pekerjaan yang kita lakukan, dilaksanakan dengan sadar dalam kerangka pencapaian Ridha Allah. Cara melihat seperti ini akan memberi dampak, misalnya, dalam kesungguhan menghadapi pekerjaan. Jika seseorang sudah meyakini bahwa Allah SWT sebagai tujuan akhir hidupnya maka apa yang dilakukannya di dunia tak dijalankan dengan sembarangan. Ia akan mencari kesempurnaan dalam mendekati kepada Al Haq. Ia akan mengoptimalkan seluruh kapasitas dan kemampuan inderawi yang berada pada dirinya dalam rangka mengaktualisasikan tujuan kehidupannya. Ini bisa berarti bahwa dalam bekerja ia akan sungguh-sungguh karena bagi dirinya bekerja tak lain adalah ibadah, pengabdian kepada Yang Maha Suci. Lebih seksama lagi, ia akan bekerja – dalam bahasa populernya – secara profesional.
Apa sebenarnya profesional itu ? Dalam khasanah Islam mungkin bisa dikaitkan dengan padanan kata ihsan. Setiap manusia, seperti diungkapkan Al Qur’an, diperintahkan untuk berbuat ihsan agar dicintai Allah. Kata Ihsan sendiri merupakan salah satu pilar disamping kata Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana, ihsan berarti kita beribadah kepada Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau kita memang tidak bisa melihat-Nya, tetapi pada kenyataannya Allah menyaksikan setiap perbuatan dan desir kalbu kita. Ihsan adalah perbuatan baik dalam pengertian sebaik mungkin atau secara optimal. Hal itu tercermin dalam Hadis Riwayat Muslim yang menuturkan sabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. Karena itu jika kamu membunuh, maka berihsanlah dalam membunuh itu dan jika kamu menyembelih, maka berihsanlan dalam menyembelih itu dan hendaknya seseorang menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya itu.
Menurut Nurcholis Madjid, dari konteks hadis itu dapat disimpulkan bahwa ihsan berarti optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan sesempurna mungkin. “Penajaman pisau untuk menyembelih” itu merupakan isyarat efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya. Allah sendiri mewajibkan ihsan atas segala sesuatu seperti tercermin dalam Al Qur’an. Yang membuat baik, sebaik-baiknya segala sesuatu yang diciptakan-Nya. (32:7). Selanjutnya Allah juga menyatakan telah melakukan ihsan kepada manusia, kemudian agar manusia pun melakukan ihsan. Dan carilah apa yang dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dunia, dan berbuat ihsanlah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (28:77).
Dari keterangan hadis dan uraian Al Qur’an jelaslah bahwa setiap Muslim harus menjadi seorang pekerja yang profesional. Dengan demikian ia melaksanakan salah satu perintah Allah untuk berbuat ihsan dan juga mensyukuri karunia Allah berupa kekuatan akal dan fisiknya yang diberikan sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan potensi akal dan fisik ini atau tidak “menajamkannya” bisa bermakna tidak mensyukuri nikmat dan karunia Ilahi Rabbi.
III. Karakteristik pekerjaan mendatang
Berbagai trend telah memperlihatkan bahwa bentuk pekerjaan mendatang tak hanya mengandalkan fisik tetapi juga otak. Al Qur’an dalam berbagai ayat sudah mengajak manusia untuk berpikir, membandingkan dan menggunakan akal dalam menghayati kehidupan dan mengarungi samudera kehidupan. Peter Drucker, salah seorang pakar manajemen, tahun 1960-an sudah memperingatkan akan datangnya “Knowledge Society”.
Dalam masyarakat jenis ini banyak bentuk kegiatan ekonomi dan pekerjaan dilakukan berdasarkan kepadatan pengetahuan. Ia memberi contoh mengetik. Dulua dengan memencet tuts orang bisa membuat kalimat, tetapi sekarang dengan adanya komputer sebelum memencet tuts harus dimiliki serangkaian pengetahuan cara bekerja perangkat lunaknya.
Pakar manajemen lainnya seperti Charles Handy, Michael Hammer atau Gary Hamel ataupun futurolog seperti John Naisbit dan Alvin Tovler sudah meramalkan jauh-jauh hari akan datangnya jenis pekerjaan otak ini. Dalam ungkapan Handy, aset sebuah organisasi tidak lagi terletak pada properti atau benda-benda fisik lainnya tetapi pada sumber daya manusia. Dan inti dari sumber daya manusia itupun adalah otaknya.
Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah mengisyaratkan akan lahirnya masyarakat pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat pertama, Iqra. Hanya tinggal manifestasi saja bagaimana Iqra itu menjadi jalan kehidupan umat Islam, bukan sebagai jargon yang yang dilafalkan.Membumikan istilah Iqra itulah merupakan tantangan umat Islam sehingga tidak ketinggalan dalam budaya masyarakat pengetahuan.
Mengutip istilah Deputi PM Anwar Ibrahim, umat Islam itu harus mampu menyumbangkan bagi peradaban yang hidup di dunia, sejajar dengan peradaban lainnya. Dengan demikian etos kerja harus merupakan bagian dari tradisi umat Islam, bukan tradisi masyarakat lain.


IV. Kesimpulan
Seruan akan etos kerja dalam Islam sebenarnya sudah banyak diungkapkan berbagai ayat Al Quran atau diuraikan hadis. Kini saatnya menyadari makna al ihsan itu sehingga dari kesadaran yang berdasarkan pengetahuan itu akan lahir sebuah budaya yang melihat pekerjaan sebagai manifestasi pengabdian kepada Allah SWT.
Daftar Pustaka
Al Quran dan Terjemahnya
Gibson, Rowan, Rethinking the Future. London, Nicholas Brealy Publishing, 1997.
Ibrahim, Anwar, The Asian Renaissance.Singapore, Times BookInternational, 1996.
Iqbal, Sheikh Mohd, Misi Islam.Jakarta, Penerbit Gunung Jati, 1982.
Madjid, Nurcholis, Islam: Doktrin dan Peradaban.Jakarta, YayasanWakaf Paramadina, 1999.

Pendekatan Di Dalam Memahami Agama

A. Islam Dan Sasaran Pendekatan Studi Agama
Telah kita ketahui bahwa agama adalah seperangkat pengetahuan,kepercayaan,peribadatan,tindakan-tindakan dan pengamalan keagamaan berkenaan dengan tuhan yang maha suci.
Secara teoritis islam adalah agama yang ajaran – ajaran nya di wahyukan tuhan kepada manusia melalui Muhammad sebagai rasul. Islam pada hakikat nya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi , tetapi mengenai beberapa segi dari kehidupan manusia .
Sumber ajaran yang mengambil berbagai aspek ialah al-qur’an dan hadis.sumber-sumber ajaran islam yang merupakan bagian pilar penting kajian islam di munculkan agar di kursuskan dan paradigma keislaman tidak keluar dari sumber asli ,yaitu Al- Qur’an dan Hadis.
Kedua sumber ini menjadi pijakan dan pegangan dalam mengakses wacana pemikiran dan membumi praktik penghambaan kepada tuhan,baik yang bersifat teologis maupun humanis.
B. Pendekatan Teologi Normatif
Pendekatan melalui melalui teologi berangkat dari kepercayaan terhadap kebenaran dogma atau informasi al-qur’an terutama tentang masalah ketuhanan dan kemudian menggunakan akal sebagai alat untuk membuktikan kebenaran informasi al-qur’an tersebut atau dalam ungkapan lain di kenal dengan pendekatan tekstual dan rasional.
Pendekatan teologi dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif yakni cara berfikir yang berawal dari kepercayaan yang di yakini benar dan mutlak adanya karena ajaran yang berasal dari tuhan sehingga tidak perlu di pertanyakan terlebih dahulu melainkan di mulai dari keyakinan berikut juga di perkuat dengan dalil-dalil serta argumentasi.
Pendekatan ini mempunyai beberapa kekurangan seperti bersifat eksklusif ,dogmatis,tidak mau mengakui kebenaran yang berada di luar kelompoknya ,sedangkan kelebihan metode ini adalah seseorang akan memiliki sikap militan dalam beragama yaitu memegang teguh agama nya yang di yakini satu-satunya yang benar.
C. Pendekatan Filologi
Meneliti agama memang tidak dapat di pisahkan dari aspek bahasa (philology),karena manusia adalah makhluk berbahasa sedangkan doktrin agama di pahami,di hayati dan di sosialisasikan melalui bahasa.
Penelitian agama dengan menggunakan pendekatan filologi dapat di bagi dalam tiga pendekatan.perlu di tekankan di sini bahwa ketiga pendekatan di maksudkan tidak terpisah secara ekstrem ,pendekatan bisa over lapping ,saling melengkapi atau bahkan dalam sudut pandang tertentu sama.ketiga pendekatan tersebut adalah :
1. Pendekatan filologi terhadap al- qur’an.
Pendekatan filologi terhadap al- qur’an adalah metode tafsir yang merupakan metode tertua dalam pengkajian agama.sesuai dengan namanya ,tafsir berarti menjelaskan,pehaman,perincian atas kitab suci sehinggan isi pesan kitab suci dapat di pahami sebagaimana yang di kehendaki oleh tuhan.
Adapun metode penafsiran yang berkembang dalam tradisi intelektual islam dan cukup popular adalah :
a. metode tafsir tahlil
yaitu metode mentafsirkan qur’an dengan cara menguraikan secara detail kata demi kata ,ayat demi ayat ,surat demi surat dari awal hingga akhir.
b. metode tafsir ijmali
Yaitu mentafsirkan ayat –ayat dalam kitab suci dengan cara menunjukkan kandungan makna kitab suci secara global dan penjelasannya pun biasanya secara global pula.
c. metode tafsir muqaran
Yaitu dengan cara membandingkan ayat al- qur’an dengan ayat lainnya yang memiliki kemiripan redaksi baik dalam kasus yang sama maupun yang beda atau bisa juga seperti qur’an dengan hadis,hadis dengan hadis atau dengan pendapat ulama’tafsir.
d. metode tafsir mawdzu
Yaitu di sebut juga tafsir tematik ,mentafsirkan dengan cara menghimpun ayat- ayat al-qur’an dari bebagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topic yang di tetapkan sebelumnya atau dengan cara mengangkat gagasan dasar al-qur’an yang merespon tema-tema abadi yang menjadi keprihatinan manusia sepanjang sejarah.
2. Pendekatan filologi terhadap hadis
Sebagaimana al- qur’an ,hadis juga banyak di teliti oleh para ahli ,bahkan dapat di katakana penelitian terhadap hadis lebih banyak dilakukan di bandingkan dengan Al-qur’an.
Memahami suatu hadis sebagai salah satu sumber terpenting ajaran islam setelah al-qur’an pasti memerlukan telaah kritis ,utuh dan menyeluruh .maka kajian akan terfokus pada matan,sanad ,dan perawi dari hadis tersebut.
3. Pendekatan filologi terhadap teks,naskah dan kitab-kitab (heurmeneutika)
Pada mulanya pendekatan ini hanya di pahami sebagai metode untuk menafsiri teks-teks yang terdapat dalam karya sastra ,kitab suci,tetapi kemudian penggunaan heurmeneutika sebagai metode penafsiran semakin luas dan berkembang ,baik dalam cara analisis nya maupun objek kajiannya.
Palmer mengklafisikan cabang–cabang studi heurmeneutika sebagai berikut :
a) Interpretasi terhadap bible
b) Interpretasi terhadap berbagai teks kesasteraan lama
c) Interpretasi terhadap penggunaan dan pengembangan bahasa
d) Interpretasi terhadap suatu studi tengtang proses pemahamannya itu sendiri
e) Interpretasi terhadap pemahaman di balik makna –makna dari setiap system symbol
f) Interpretasi terhadap pribadi manusia beserta tindakan-tindakan social nya.
Metode heurmeneutika mempunyai fungsi agar tidak terjadi distorsi pesan atau informasi antara teks,naskah,kitab,penulis,pembaca nya. Karena itu untuk memperoleh pemaknaan yang lebih konfrehensif harus di perhatikan gaya bahasa ,struktur kalimat,dan juga budaya.
D. Pendekatan Studi Hukum /fiqh
Fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum agama yang bersifat amaliyah yang di hasilkan dari dalil-dalil yang terperinci.
Pendekatan ini di lakukan untuk memperhatikan kemaslahatan umat di mana hukum itu di berlakukan ,sehingga hukum tersebut betul-betul menjadi keyakinannya. Bicara hukum islam berarti membicarakan perintah dan larangan dari Allah ataupun dari rasul-NYA.
Di dalam Al-qur’an banyak sekali hukum-hukum diantaranya ada yang menunjukkan hukum secara jelas dan pasti (qath’iy) yang tidak membutuhkan penjelasan dan pula hokum yang tidak jelas (dhanny) yang banyak membutuhkan penjelasan dan pengembangan pikiran yang biasa di sebut dengan ijtihad. Hukum islam dapat di lihat dari beberapa aspek yaitu :
a) Aspek ibadah (pengabdian kepada tuhan)
• sholat
• puasa
• zakat
• haji
b) Aspek mu’amalah (sosial)
• jinayat
• pernikahan
• politik
E. Pendekatan Antropologis
Menurut geertz untuk memahami agama sebagai suatu system yang terdiri atas berbagai symbol yang memberikan arti ,maka agama berarti :
• Suatu symbol yang bergerak dan bertindak ,untuk;
• Menetapkan dorongan hati dan motivasi yang kuat ,menembus dan bertahan lama pada manusia.
• Dengan cara memformulasikan berbagai konsep tentang suatu tatanan umum dari yang hidup,dan;
• Mewarnai konsep – konsep dengan aura faktualitas sehingga dorongan hati dan motivasi akan tampakalistik.
Jadi agama di artikan sebagai suatu system symbol,symbol-simbol yang ada kemudian bersatu menjadi suatu budaya yang akan membentuk sebuah pola.
Pendekatan ini di gunakan untuk memahami perilaku yang tidak dapat di ukur secara kuantitatif yaitu, untuk memahami perilaku manusia yang beragama secara kualitatif .
F. Pendekatan Sosiologis
Agama adalah gejala penting dalam kehidupan masyarakat . Pendekatan ini di gunakan untuk memahami perilaku yang berkaitan dengan hubungan antar manusia,kelompok.
Sosiologi harus di kaitkan dengan segala sesuatu yang sudah berada pada tingkat yang masuk akal ,di lihat sebagai kenyataan social karena suatu konsep yang tidak di dasari dengan pemahaman sosiologis akan menimbulkan ketidak jelasan .
Adapun sosiologi agama adalah suatu bagian integral dan bahkan sentral dari sosiologi . tugas yang paling penting adalah untuk menganalisa unsur-unsur normatif dan kognitif di mana suatu permasalahan yang di nyatakan secara social yang sudah di maklumi.
G. Pendekatan Filosofis
Filsafat berarti berfikir secara mendalam ,sistematis,radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran ,inti,hakikat pada segala sesuatu yang ada.
Pendekatan secara filosofis telah banyak di lakukan oleh para ahli,seperti yang di katakan oleh Muhammad al- jurjawi,ketika seseorang yang mengerjakan satu amal ibdah niscaya tidak terjerat dalam formalisme kering yaitu simbolisme yang hampa serta ritualisme yang kering dari nilai spiritualisme. Semakin dalam penggalian makna filosofisnya, maka akan semakin dalam pula sikap penghayatan dan daya spiritualitas yang di miliki seseorang.
H. Pendekatan Historis
Salah satu pendekatan yang dapat di lakukan dalam studi terhadap islam sebagai obyek ,adalah pendekatan melalui histories atau di sebut juga sejarah. islam bukan hanya sebuah doktrin agama tetapi hidup sepanjang masa bersamaan dengan perjalanan sejarah umatnya. pendekatan ini di lakukan agar dapat mengetahui seluk beluk ajaran yang di bawah nabi Muhammad saw dan bagaimana agama itu mewarnai pola hidup pengikutnya sampai pada bagaimana agama ini berinteraksi dengan manusia yang berlatar belakang berbagai etnis dan budaya.
Kata sejarah berarti asal-usul atau kejadian yang benar-benar terjadi pada masa dahulu . jadi harus di bedakan dari dongeng ,hikayah,legenda dan sebagainya .
Dalam pendekatan sejarah tidak hanya di lihat dari sisi luarnya saja tetapi juga harus di lihat dari sisi dalamnya juga maksudnya dalam memahami sejarah harus mencapai kebenaran dan tidak di pengaruhi oleh sikap memihak kepada pendapat tertentu jadi harus dengan qaidah –qaidah yang berlaku.
I. Pendekatan Psikologis
Pendekatan melalui psikologis merupakan salah satu pendekatan yang di lakukan dalam islam.
Agama jika di pahami melalui pemikiran walaupun agama yang paling suci sekalipun tetap di dasari secara psikologis oleh psikisme manusia yang paling elementer dan fundamental. Namun dasar ini belum menunjukkan dasar agama yang sebenarnya.
Sikap religius baru dapat timbul secara berangsur-angsur dari pemecahan terhadap beberapa masalah , dari situ muncul suatu bentuk agama yang penuh perbedaan dan yang betul-betul personal sehingga seseorang mempunyai keyakinan religius yang matang dan mantap.
Itu semua tidak terlepas dari psikologis dinamis yang menunjukkan bahwa tidak ada keserasian alamiah antara manusia dengan nilai-nilai yang hakiki sedemikian rupa sehingga telah ditentukan sejak semula, sebaliknya manusia harus menciptakan nilai-nilai itu dengan banyak jerih payah dan dengan terus menerus mengeritik khayalan-khayalan.
Agama secara psikologis berarti suatu keadaan batin yang mengandung pendirian dan keyakinan terhadap seseorang ataupun sesuatu hal dan yang di ungkapkan secara lahir dalam kata-kata serta tingkah laku yang menghasilkan hubungan timbal balik antara proses –proses psikis itu sendiri yang akan mempengaruhi watak,emosi yang akan mendorongnya untuk memahami agama.
J. Pendekatan tasawwuf
Tasawwuf merupakan salah satu pendekatan yang di lakukan dalam agama islam untuk lebih memfokuskan perhatiannya pada dimensi esoteri yakni pembersihan aspek rohani manusia sehingga dapat menimbulkan ahlaq mulia.
Melalui pendekatan ini seorang dapat mengetahui beberapa cara melakukan pembersihan jiwa serta mengamalkan secara benar dan dapat berinteraksi dengan orang lain dengan baik.
Adapun di dalam pengertian tasawwuf dapat di lihat dari beberapa sudut pandang tasawwuf sendiri salah satu di antaranya adalah :
1. Sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas.
Dari sudut ini maka tasawwuf dapat di artikan sebagai upaya penyucian diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan hanya memusatkan diri kepada Allah swt.
2. Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang.
Dari sudut ini maka tasawwuf dapat di artikan sebagai upaya memperindah diri dari ahlaq yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt.
3. Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang bertuhan.
Dari sudut ini maka tasawwuf dapat di artikan sebagai upaya untuk mencapai kesadaran fitrah,percaya kepada Allah yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Allah swt.
K. Pendekatan Kebudayaan
Pendekatan melalui kebudayaan di lakukan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang di atur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang di punyai oleh manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat di gunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang di hadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang di perlukan.
Oleh karena itu bidang-bidang pengetahuan keahlian utama yang di dasarkan atas studi budaya adalah meliputitheology,filsafat,hukum,filologi dan lain-lain.
Ajaran islam bersifat doktriner dan normative ,akan tetapi tidak berarti bersifat kaku,tertutup dan tidak mau menerima perubahan. Dalam aplikasinya terdapat peluang ijtihad untuk menyesuaikan dengan keadaan situasi dan kondisi.
Agama sebagai budaya juga dapat di lihat sebagai mekanisme control, karena agama adalah pranata social dan gejala sosial yang berfungsi sebagai control terhadap institusi-institusi yang ada.
Dalam islam mengenai kebudayaan ,umat islam berpegang pada qaidah ‘memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya baru yang lebih baik pula.
Dalam islam banyak terdapat macam-macam kebudayaan ,seperti tata cara dalam memilih pendamping hidup diantaranya adalah bahwa yang paling tepat sebagai pendamping hidup adalah yang paling beragama,kemudian acara pernikahan di bacakan syahadat ,ketika melahirkan si anak di dengarkan kumandang adzan dan juga pada acara aqiqah, itu semua adalah sebagian dari kebudayaan islam dimana pada setiap acara di selimuti dengan nuansa keagamaan.
L. Daftar Pustaka
 Drs .H.As’ari.Ahm Dan kawan-kawan,Pengantar Studi Islam,IAIN Sunan Ampel Press,Surabaya,2002.
 Tibi Bassam,Islam Kebudayaan Dan Perubahan Sosial,Tiara Wacana,Yogyakarta,1999.
 Roland Robertson ED,Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis,Raja Grafindo,Jakarta,1995.
 Dr.Nico Syukur Dister,Psikologi Agama,Kanasius,Yogyakarta,1989