Halaman

Selasa, 23 Oktober 2012

MANAJEMEN KULTURAL DI PESANTREN



MANAJEMEN KULTURAL DI PESANTREN

A.     Pendahuluan
Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di-kembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia. Karena sebenarnya pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang sadar sepenuhnya akan pentingnya arti sebuah pendidikan bagi orang pribumi yang tumbuh secara natural. Terlepas dari mana tradisi dan sistem tersebut diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola yang unik (khas) dan telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.[1]
Karel A. Steenbrink mengutip pendapat Amir Hamzah bahwa secara terminology dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India.[2] Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji bukanlah berasal dari istilah Arabm melainkan dari India. Demikian juga istilah pondok, langgar di Jawa, surau di Minangkabau dan rangkang di Aceh bukanlah istilah Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India.[3]
Ada beberapa pendapat mengenai asal muasal kata “pesantren”, Prof. John berpendapat bahwa kata pesantren berasal dari terma “santri” yang diderivasi dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sementara itu C.C. Berg berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti orang yang memiliki pengetahuan tentang buku-buku suci (kitab suci). Berbeda dengan keduanya, Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang berarti orang yang tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum.[4]
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai asal muasal pesantren, perlu digaris bawahi bahwa        pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang masih tetap konsisten sampai sekarang dalam memegang nilai-nilai, budaya, serta keyakinan agama yang kuat. Bahkan, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang diakui kemandirian dan independensinya. Bahkan Malik Fadjar membanggakan kemandirian pesantren dengan mengatakan bahwa kalau ditinjau dari kemandirian, pesantren lebih unggul ketimbang perguruan tinggi yang terkesan “wah” tapi malah justru menjadi lembaga pendidikan yang paling bertanggung jawab terhadap membludaknya pengangguran. (Nurcholis MAdjid, 1997).[5]

B.        Pesantren dan Gejala Modernitas
            Pesantren dengan segala keunikan yang dimilikinya masih diharapkan menjadi penopang berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia. keaslian dan kekhasan pesantren di samping sebagai khazanah tradisi budaya bangsa, juga merupakan kekautan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa yang bermoral. Oleh sebab itu, arus globalisasi mengandaikan tuntutan profesionalisme dalam mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu. Realitas inilah yang menuntut adanya manajemen pengelolaan lembaga pendidikan sesuai tuntatan zaman. Signifikansi professionalisme manajemen pendidikan menjadi sebuah keniscayaan di tengah dahsyatnya arus industrialisasi dan perkembangan teknologi modern.[6]
            Dalam memahami gejala modernitas yang kian dinamis, pesantren sebagaimana diistilahkan Gus Dur ‘sub kultur’ memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga pendidikan agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial.[7] Dalam kaitannya dengan respon keilmuan pesantren terhadap dinamika modernitas, setidaknya terdapat dua hal utama yang perlu diperhatikan. Keduanya merupakan upaya kultural keilmuan pesantren, sehingga peradigma keilmuannya tetap menemukan relevansinya dengan perkembangan kontemporer. Pertama, keilmuan pesantren muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Kedua, peantren dipandang sebagai lembaga pendidikan, maka kurikulum pengajarannya setidaknya memiliki orientasi terhadap dinamika kekinian.[8] Sebab inilah, perlu dibangun manajemen pesantren yang lebih memberdayakan sumber daya manusia agar siap menghadapi gejala modernitas.

C.        Manajemen Kultural Sebagai Model Keenam
            Manajemen Kultural sebagai model manajemen keenam merupakan manajemen yang menggunakan nilai-nilai (keyakinan/kepercayaan) sebagai dasar pengembangan organisasi, termasuk pendidikan (sekolah) tidak dapat dikelola secara struktural/birokratis yang lebih menekankan pada perintah atasan, pengarahan, dan pengawasan, karena dapat terjadi anggota organisasi hanya bekerja apabila ada perintah dan pengawasan. Setiap orang bekerja dengan dasar nilai (keyakinan) yang mendorong adanya keterlibatan emosional, sosial, dan pikiran demi melaksanakan tugas pekerjaannya.[9]
            Dalam manajemen kultural, kultur lebih fokus terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan norma-norma individu dan bagaimana persepsi-persepsi ini bergabung atau bersatu dalam makna-makna organisasi.[10] Kultur organisasional adalah suatu karateristik semangat dan keyakinan sebuah organisasi, yang ditunjukkan, misalnya, dalam norma-norma dan nilai-nilai yang secara umum berbicara tentang bagaimana seharusnya orang bersikap terhadap orang lain, suatu sifat pola hubungan kerja yang harus dikembangkan dan dirubah. Norma-norma ini sangat dalam, asumsi-asumsi kaku yangtidak selalu diekspresikan, dan selalu diketahui tanpa bisa dipahami”.[11]
            O’Neil (1994, hal. 105) merujuk pada ungkapan Deal (1988) tentang beberapa elemen kultur yang dibuat dalam beberapa variasi cara:
  1. Nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang diekspresikan dalam bentuk tertulis.
  2. Pahlawan pria/wanita yang melambangkan perilaku organisasi dan kualitas personal yang diinginkan.
  3. Ritual yang mengarahkan semua anggotanya untuk bersama-sama memperkuat nilai-nilai inti.
  4. Upacara-upacara yang merayakan nilai-nilai tersebut.
  5. Kisah-kisah yang mengkomunikasikan dan meluaskan filosofi dan praktek yang berarti.
  6. Suatu jaringan pelaku kultural informal yang bersedia untuk menjaga kultural dalam menghadapi tekanan-tekanan perubahan.[12]
 
C.        Manajemen Kultural di Pesantren
            Bush mengatakan bahwa model-model kultural memandang bahwa keyakinan, nilai, dan ideologi ada pada jantung organisasi. Individu memiliki ide-ide tertentu dan preferensi nilai yang mempengaruhi bagaimana mereka bersikap dan bagaimana mereka memandang perilaku anggota-anggota lainnya. Norma-norma ini menjadi tradisi yang dikomunikasikan dalam kelompok dan diperkuat oleh simbol-simbol dan ritual.[13] Prof. Sodiq juga menekankan bahwa manajemen kultural adalah manajemen yang menggunakan nilai-nilai (keyakinan/kepercayaan) sebagai dasar pengembangan organisasi. Karena itulah, manajemen kultural di pesantren merupakan bentuk manajerial pesantren yang lebih menekankan pada pendekatan kultural yang dilakukan oleh seorang kyai/ustadz dalam mengelola dan mengembangakan pesantren sebagai basis keilmuan Islam di Nusantara.
Salah satu basis kultural pesantren adalah bentuk pendidikan pesantren yang bercorak tradisionalisme. Menurut Mochtar Buchori, pesantren merupakan bagian struktural internal pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara tradisional yang telah menjadikan Islam sebagai cara hidup. Sebagai bagian struktur internal pendidikan Islam Indonesia, pesantren mempunyai kekhasan, terutama dalam fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga dakwah, bimbingan kemasyarakatan, dan bahkanperjuangan. Mukti Ali mengindetifikasikan beberapa pola umum pendidikan Islam tradisional sebagai berikut:
  1. Adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri.
  2. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai.
  3. Pola hidup sederhana (zuhud).
  4. Kemandirian atau independensi.
  5. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan.
  6. Displin ketat.
  7. Berani menderita untuk mencapai tujuan.
  8. Kehidupan dengan tingkat religiusitas tinggi.[14]
Senada dengan Mukti Ali, Alamsyah Ratu Prawiranegara juga mengemukakan beberapa pola umum yang khas yang terdapat dalam pendidikan Islam tradisional sebagai berikut:
1.      Independen.
2.      Kepemimpinan Tunggal
3.      Kebersamaan dalam hidup yang merefleksikan kerukunan.
4.      Kegotong-royongan.
5.      Motivasi yang terarah dan pada umumnya mengarah pada peningkatan kehidupan beragama.[15]
Dari dua pendapat di atas, nampak sekali bahwa pola tradisionalisme merupakan basis kultur pesantren yang menjadikan keunikan tersendiri bagi pesantren. Kalau kita kaitkan dengan manajemen kultur, maka pola pendidikan tradisionalisme di pesantren merupakan basis nilai-nilai, keyakinan, dan budaya, yang dapat dijadikan dasar pengembangan manajemen kultur di pesantren. Misalnya: hubungan akrab antar kyai dan santri, ibarat hubungan antara ayah dan anak. Hubungan akrab ini bisa mendorong keterlibatan emosional kyai dan santri untuk mengembangkan pesantren bersama-sama, apalagi hal ini didukung oleh sikap ketundukkan dan kepatuhan seorang santri pada kyainya. Sikap inilah yang akan mendukung keberhasilan kepemimpinan seorang kyai di pesantren.
Dalam kepemimpinan seorang kyai di pesantren, memiliki titik kelemahan dan kelebihan. Titik kelemahannya, kyai merupakan figure sentral di dunia pesantren dan lebih dari itu merupakan faktor determinan terhadap suksesnya santri dalam mencari pengetahuan. Dalam ranah akademik pendidikan kepesantrenan, signifikasi peranan kyai dalam mengambil kebijakan juga menjadikan pembelajaran di pesantren yang biasanya non-stop, kurang teratur kurikulumnya, atau bahkan ada juga pesantren yang sama sekali tidak menerapkan sistem kurikulum. Bahan ajar menjadi hak prerogratif kyai. Kyai, dalam dunia pendidikan pesantren menjadi seorang otokrat.[16]
Sisi positif (kelebihan) dari lembaga pendidikan pesantren adalah walaupun dipimpin oleh seorang kyai secara otokratif, akan tetapi watak inklusifnya begitu mendalam. Kebersahabatannya dengan budaya lokal telah berhasil memperkokoh funda-mentasi kebangsaan. Maka tidak heran pesantren menjadi akulturasi kebudayaan antar daerah. Berkenaan dengan ini, tipe kepemimpinan pesantren memiliki watak pemersatu. Daulat P. Tampubolon (2001) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan pemersatu berarti mampu mempersatukan semua unsur dan potensi yang berbeda-beda sehingga menjadi kekuatan sinergis yang bermanfaat bagi semua pihak.[17]
Inilah mungkin letak keunikan dalam kepemimpinan (manajemen) di dunia pesantren. Di satu sisi seorang kyai sebagai public figure bagi santrinya yang harus diikuti, di sisi lain, seorang kyai mampu mengakomodir keberagaman budaya santrinya. Sebagaimana kata Mukti Ali di atas, berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan antara kyai dan santrinya.
Saya melihat, keberhasilan kyai dalam melakukan pengelolaan pesantren, salah satunya karena kyai menjunjung tinggi nilai-nilai, budaya maupun keyakinan. Sikap otokrasi biasanya dilakukan oleh kyai saat beliau menjadi seorang pemimpin pesantren yang lebih menekankan pada nilai-nilai keagamaan[18], misalnya: Pembelajaran yang bersifat kyai-centered. Seorang kyai melihat para santrinya belum matang secara intelektual maupun emosionalnya, sehingga perlu dibimbing dalam belajar. Adapun metode pembelajaranya, biasa disebut dengan metode sorogan atau bandongan dimana kyai mempunyai kekuasan tinggi dalam mengajarkannya, bahkan “haram” bagi santri untuk membantahnya.
Sikap kekeluargaan, keakraban, tolong-menolong biasanya dilakukan oleh kyai saat beliau menjadi seorang manajer pesantren yang lebih menekankan pada proses dan pengelolaan pesantren. Di sinilah letak manajemen kultur yang dilakukan oleh kyai untuk mengembangkan pesantren. Nilai-nilai seperti kekeluargaan, keakraban, tolong-menolong sangat efektif untuk manjalin ikatan emosional antara kyai dan santri untuk mencapai tujuan pesantren secara bersama.
Kaitannya dengan gejala modernitas dan perkembangan ilmu pengetahuan (the rise of educations), sebaiknya sikap otokrasi dalam kepemimpinan seorang kyai dikurangi dan lebih mengedepankan sikap “mengayomi” santri dengan nilai-nilai, budaya maupun keyakinan agama sebagai basis manajemen kultur di pesantren. Sikap otokrasi akan menghasilkan peserta didik yang tidak kritis dan jumud (kaku) dalam pemikiran. Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan membutuhkan keterbukaan dan partisipasi aktif antara peserta didik dengan seorang kyai atau guru. Model pembelajaran bukan kyai-centered tapi santri-centered.  

D.        Kesimpulan
            Manajemen kultural di pesantren sangat menekankan adanya sikap konsistensi dalam memegang nilai-nilai, budaya serta keyakinan agama yang kuat antara kyai dan santri untuk mewujudkan tujuan pesantren secara bersama. Dalam manajemen kultural, sikap seorang kyai yang selama ini cenderung otokrasi dalam memimpin harus dihindari untuk mendorong adanya keterlibatan emosional, sosial, dan pikiran santri maupun staf ustadz/karyawan demi melaksanakan tujuan pesantren secara ikhlas tanpa paksaan.
           












Daftar Pustaka

Aziz Kuntoro, Sodiq. 2008. Materi Perkuliahan Manajemen Berbasis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah. Program Pascasarjana Prodi Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ali, Mukti. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali press.
A. Steenbrink, Karel. 1974. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Bush, Tony & Coleman, Marianne. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan (terj.) oleh. Fahrurrozi. Yogyakarta: IRCiSoD.
_______________________________. 2000. Leadership and Strategic Management in Education., London:Paul Chapman Publishing Ltd.

Dawam, Ainurrafiq dan Ta’arifin, Ahmad. 2005. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Listafariska Putra.
Hamzah Wirjosukarto, Amir. 1968. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang diselenggarakan oleh Pergerakan Muhammadiyah, Singosari-Malang.
Haedari, Amin. dkk. 2004. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kmplesitas Global. Jakarta: IRD Press.


[1] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Listafariska Putra., hal. 5
[2] Karel A. Steenbrink. 1974. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES., hal. 20 atau Amir Hamzah Wirjosukarto. 1968. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang diselenggarakan oleh Pergerakan Muhammadiyah, SIngosari-Malang., hal. 40
[3] Karel A. Steenbrink. 1974. Pesantren..., hal. 20-21
[4] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen…, hal. 5
[5] Ibud., hal. 74
[6] Ibid., hal. 18
[7] Amin Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kmplesitas Global. Jakarta: IRD Press., hal. 76
[8] Ibid., hal. 78-79
[9] Prof Sodiq Aziz Kuntoro. 2008. Materi Perkuliahan Manajemen Berbasis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah. Program Pascasarjana Prodi Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[10] Tony Bush & Marianne Coleman. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan (terj.) oleh. Fahrurrozi. Yogyakarta: IRCiSoD., hal. 133 atau Tony Bush and Marianne Coleman. 2000. Leadership and Strategic Management in Education., London:Paul Chapman Publishing Ltd., p. 42.
[11] Ibid., hal 133-134
[12] Ibid., hal. 134-135
[13] Ibid., hal. 134
[14] Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren…,hal. 14-15 atau lihat Mukti Ali. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali press., hal. 5
[15] Ibid., hal. 15
[16] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen…, hal. 73
[17] Ibid., hal. 74
[18] Sebagaimana Tony Bush dan Merianne Coleman mengatakan bahwa kepemimpinan diidentikan dengan visi dan nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikan dengan proses dan struktur. Bush & Marianne Coleman. 2006. Manajemen Strategis…,hal. 63