MENCARI EVIDENSI PROFESIONALISME GURU
DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
(Telaah
Epistemologis Terhadap Problematika Keguruan)
Oleh: Hariadi, S.Ag., M.Pd[1]
I.
Pendahuluan
Sejarah telah membuktikan
bahwa pendidikan merupakan
bagian terpenting dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikan manusia
akan bisa eksis dan berjaya di muka bumi ini. Sebagai suatu sistem, pendidikan
memiliki sebuah komponen yang saling berkait antara yang satu dengan yang lain,
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[2]
Komponen pendidikan tersebut antara lain
adalah kurikulum, guru, metode, sarana-prasarana dan evaluasi. Selanjutnya dari
sekian komponen pendidikan tersebut guru merupakan komponen pendidikan
terpenting, terutama dalam mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan
pengembangan disain pendidikan dan pembelajaran.
Dengan tindakan-tindakan guru ini, nasib pendidikan kita
bergantung kepadanya. Sementara itu, diketahui bahwa dewasa ini tugas guru
semakin terasa berat. Hal ini terjadi antara lain karena kemajuan di bidang
ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta perubahan cara pandang dan pola hidup
masyarakat yang menghendaki strategi dan pendekatan dalam proses pembelajaran yang berbeda-beda, di samping materi pembelajaran itu sendiri.
Keadaan perkembangan masyarakat yang sedemikian itu,
maka mendidik merupakan tugas berat dan memerlukan seseorang yang cukup
memiliki kemampuan yang sesuai dengan jabatan tersebut. Mendidik adalah
pekerjaan professional yang tidak dapat diserahkan kepada sembarang orang,
karena hal ini akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan
dan perkembangan peserta didik dalam kehidupannya, begitu juga terhadap lembaga
pendidikan di mana ia mengabdikan dirinya bagi
profesi yang diembannya.
Drajat profesionalitas seorang guru berkaitan dengan seberapa tingkat keseriusannya
dalam upaya penyiapan peserta didik
menjadi manusia yang ulul albab yang nantinya diharapkan bisa
mengangkat dunia keilmuan Islam dan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar
lagi serta harus segera dimiliki oleh setiap guru muslim agar tercipta suatu
tatatan dunia keilmuan Islam yang maju dan dapat mempengaruhi terhadap semua
bangsa seperti pada masa kejayaan Islam dahulu kala.
Untuk itu, dalam mewujudkan profesionalisme dalam pribadi seorang guru
tidaklah mudah, karena hal tersebut memerlukan proses yang cukup panjang dan
biaya yang tidak
sedikit. Disamping itu,
diperlukan pula penyadaran terhadap tugas dan tanggung
jawabnya sebagai calling profesio yang harus terus dibina agar
supaya apa yang menjadi harapan dan cita-cita dari masyarakat terhadap hasil
pembelajarannya yang dilakukan bersama muridnya dapat tercapai, sehingga
tercipta kualitas dan mutu out put yang bisa dipertanggung
jawabkan secara intelektual, memiliki keterampilan yang tinggi dan memiliki
akhlaqul karimah yang diidamkan.
Berdasar pada problematika
keguruan sebagaimana yang diuraikan di atas, maka dipandang perlu untuk mencari
evidensi profesionalisme guru dalam pendidikan islam
secara epistemologis, sehingga dapat menemukan solusi terbaik yang dapat
menjawab problematika profesionalisme Guru tersebut.
II.
Konsep
Filsafat Ilmu
Secara filosofis Filsafat ilmu sebagai salah satu cabang ilmu filsafat
bukan sekedar metode penelitian atau cara penulisan karya ilmiah, melainkan
merupakan dasar dan arah pengembangan ilmu pengetahuan yang terus menerus
berupaya tanpa mengenal titik henti mencari kebenaran / kenyataan (an
unfinished journey). Di sisi lain Koento Wibisono menyatakan, bahwa
filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti
dalam menjelajah kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan,
sesuatu yang memang tidak akan pernah selesai diterangkan.
Hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran
universal yang implisit melekat di dalam dirinya. Dengan memahami filsafat
ilmu, berarti memahami seluk-beluk ilmu yang paling mendasar, sehingga
dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinan
antar cabang ilmu yang satu dengan yang lain.
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada
komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi ilmu meliputi apa hakekat ilmu
itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan
ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa dan
bagaimana (yang) “ada”itu (being, seni, het zijin). Adapun
epistemologi ilmu, meliputi sumber sarana, dan tata cara menggunakan sarana
tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Perbedaan mengenai pilihan landasan
ontologi akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana
yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernunft),
pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan
sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model
epistemologi seperti rasionalisme, empirisme, kritisme atau rasionalisme
kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula
bagaimana kelebihan dan kekurangan sesuatu model epistemologi beserta tolak
ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi,
pragmatisme, dan teori intersubjektif. Sedangkan aksiologi meliputi
nilai-nilai (value) yang bersifat normatif dalam pemberian
makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan
kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan
simbolik atau pun fisik-materil. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan
oleh aksiologi ini sebagai suatu condicio since quanon yang
dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam
menerapkan ilmu.
Setiap jenis
pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut
disusun.[3]
Ketiga landasan ini sangat berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait dengan
epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan
seterusnya.
Berangkat dari
hal tersebut, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai
hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik
dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek
kajian ilmu.[4]
Apakah obyek kajian ilmu itu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa
dicapainya dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu,
kebenaran obyektif, subyektif, absolut atau relatif.
Subyek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam
ruang dan waktu yang terbatas, sehingga kajian ilmu pada realitasnya selalu
berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup manusia
sendiri, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap
batas-batas itu, dengan sendirinya selalu membawa konsekwensi-konsekwensi
tertentu. Batas-batas waktu hidup seseorang berpengaruh pada kualitas
kajiannya, sehingga banyak sekali revisi dan koreksi dilakukan oleh seseorang
terhadap hasil kajiannya yang terdahulu.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, “episteme”
yang berarti pengetahuan.[5]
Epistemologi adalah pengetahuan sebagai upaya menempatkan sesuatu di dalam
kedudukan yang setepatnya.[6]
Menurut Paul Edward mengatakan bahwa epistemologi, or the theory of
knowledge is that branch of philoshopy which is concernd with the nature and
scope of knowledge, its presupposition and basis, and in the general
realibility of claim to knowledge.[7](Epistemologi
atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan
lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal
dapat diandaikannya penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan). Sesuai
pengertian tentang epistemologi tersebut, maka
tinjauan epistemologi dalam hal ini meliputi : (1) Sumber-sumber
ilmu; (2) Cara memperoleh ilmu; (3) Ruang
lingkup ilmu; dan (4)Validitas pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu bagain dari filsafat
sistematik yang paling sulit. Sebab epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang luas jangkauan metafisika sendiri.
Selain itu, pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan
permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita berani memasuki permasalahan
epistemologi, akan tampak betapa pentingnya suatu upaya untuk mendasarkan
pembicaraan sehari-hari pada pertanggung jawaban ilmiah. Hal ini penting untuk
membedakan hal manakah yang perlu dipercaya, dipegang dan dipertahankan, dan
hal manakah yang kiranya cukup ditanggapi dengan sikap “biasa”.[8]
III.
Guru
dan Problematika Profesionalisme Keguruan
Guru dalam
proses pembelajaran pada suatu lembaga pendidikan berfungsi sebagai mediator
dalam penyampaian materi-materi yang diajarkan kepada peserta didik, untuk
kemudian ditindak lanjuti oleh peserta didik dalam kehidupan nyatanya, baik di
dalam sekolah maupun di luar sekolah. Dalam proses pembelajaran ini, untuk
menjadi guru yang profesional, hendaknya guru memiliki dua kategori, yaitu
capability dan loyality, artinya guru itu harus
memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan
teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi
sampai evaluasi dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal kepada tugas-tugas
keguruan yang tidak semata-mata di dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah di
kelas.[9]
Pekerjaan guru
merupakan profesi atau jabatan yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini
tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Tugas
profesi guru meliputi : mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti
meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sedangkan melatih
berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan kepada anak didik.[10]
Sementara tugas sosial guru tidak hanya terbatas pada masyarakat saja, akan
tetapi lebih jauh guru adalah orang yang diharapkan mampu mencerdaskan bangsa
dan mempersiapkan manusia-manusia yang cerdas, terampil dan beradab yang akan
membangun masa depan bangsa dan negara. Semakin akurat para guru melaksanakan
fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya sumber daya manusia yang
andal dalam melakukan pembangunan bangsa.
Secara sederhana tanggung jawab guru adalah
mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkat pengetahuannya,
semakin mahir keterampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya.
Dalam hubungan ini ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa guru yang baik
adalah guru yang mampu melaksanakan inspiring teaching, yaitu
guru yang melalui kegiatan mengajarnya mampu mengilhami murid-muridnya. Melalui
kegiatan mengajar yang dilakukannya seorang guru mampu mendorong para siswa
agar mampu mengemukakan gagasan-gagasan besar dari murid-muridnya.[11]
Persoalan guru
dalam dunia pendidikan senantiasa mendapat perhatian besar dari pemerintah
maupun masyarakat. Pemerintah memandang mereka sebagai media yang sangat
penting, artinya bagi pembinaan dan pengembangan bangsa. Mereka adalah
pengemban tugas-tugas sosial kultural yang berfungsi mempersiapkan generasi
muda sesuai dengan cita-cita bangsa. Sementara masyarakat memandang pekerjaan
guru merupakan pekerjaan istimewa yang berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lain.[12]
Dalam pandangan masyarakat, pekerjaan guru bukan semata-mata sebagai mata pencaharian
belaka yang sejajar dengan pekerjaan tukang kayu atau pedagang atau yang lain.
Pekerjaan guru menyangkut pendidikan anak, pembangunan negara dan masa depan
bangsa.
Masyarakat
memberikan harapan besar pada guru guna melahirkan generasi masa depan yang
lebih baik. Mereka diharapkan menjadi suri tauladan bagi anak didiknya dan
mampu membimbing mereka menuju pola hidup yang menjunjung tinggi moral dan
etika. Guru telah diposisikan sebagai faktor terpenting dalam proses belajar
mengajar. Kualitas dan kompetensi guru dianggap memiliki pengaruh terbesar
terhadap kualitas pendidikan. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila guru
dituntut untuk bertindak secara profesional dalam melaksanakan proses belajar
mengajar guna meningkatkan kualitas pendidikan yang mereka lakukan. Tuntutan
seperti ini sejalan dengan perkembangan masyarakat modern yang menghendaki
bermacam-macam spesialisasi yang sangat diperlukan dalam masyarakat yang
semakin lama semakin kompleks. Tuntutan kerja secara profesional juga
dimaksudkan agar guru berbuat dan bekerja sesuai dengan profesi yang
disandangnya.
Berbicara tentang kerja yang profesional mengharuskan
kita untuk mengetahui terlebih dahulu pengertian profesi sebagai bentuk dasar
kata profesional tersebut. Menurut Volmer dan Mills, bahwa pada dasarnya
profesi adalah sebagai suatu spesialisasi dari jabatan intelektual yang
diperoleh melalui studi dan training, bertujuan mensuplay keterampilan melalui
pelayanan dan bimbingan pada orang lain untuk mendapatkan bayaran (fee) atau gaji
(salary) . Dalam prespektif sosiologi, bahwa profesi itu
sesungguhnya suatu jenis model atau tipe pekerjaan ideal, karena dalam
realitasnya bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkannya.
Sedangkan profesionalisme adalah proses usaha menuju
ke arah terpenuhinya persyaratan suatu jenis model pekerjaan ideal
berkemampuan, mendapat perlindungan, memiliki kode etik profesionalisasi, serta
upaya perubahan struktur jabatan sehingga dapat direfleksikan model profesional
sebagai jabatan elit. Sedangkan profesi itu sendiri pada hakekatnya
adalah sikap bijaksana (informend responsiveness) yaitu
pelayanan dan pengabdian yang dilandasi oleh keahlian, kemampuan, teknik dan
prosedur yang mantap diiringi sikap kepribadian tertentu.[13]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa sebuah
profesi mengandung sejumlah makna yang dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan; (2) Profesi dipilih oleh seseorang atas kesadaran yang
dalam; dan (3) Dalam profesi terkandung unsur pengabdian.
Dengan demikian, bekerja secara profesional berarti
bekerja secara baik dan dengan penuh pengabdian pada satu pekerjaan tertentu
yang telah menjadi pilihannya. Guru yang profesional akan bekerja dalam bidang
kependidikan secara optimal dan penuh dedikasi guna membina anak didiknya
menjadi tenaga-tenaga terdidik yang ahli dalam bidang yang menjadi
spesialisnya. Hal ini dengan sendirinya menuntut adanya kemampuan atau
keterampilan kerja tertentu. Dari sisi ini, maka keterampilan kerja merupakan
salah satu syarat dari suatu profesi. Namun tidak setiap orang yang memiliki
keterampilan kerja pada satu bidang tertentu dapat disebut sebagai profesional.
Keterampilan kerja yang profesional didukung oleh konsep dan teori terkait. Dengan
dukungan teori ini memungkinkan orang yang bersangkutan tidak saja menguasai
bidang itu, akan tetapi juga mampu memprediksi dan mengontrol suatu
gejala yang dijelaskan oleh teori itu. Atas dasar inilah, maka pekerjaan
profesional memerlukan pendidikan dan latihan yang bertaraf tinggi yang kalau
diukur dari jenjang pendidikan yang ditempuh memerlukan pendidikan pada tingkat
perguruan tinggi.[14]
Dengan berbekal profesionalisme yang tingi pada setiap pendidik (guru)
tersebut, maka dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi terangkat.
Namun dewasa ini, dunia pendidikan kita sedang dilanda
krisis “profesionalisme guru”, khususnya yang terjadi pada lembaga pendidikan
Islam, karena disebabkan oleh berbagai hal. Hal tersebut menjadi problematika
dunia pendidikan dan menjadi belenggu bagi terciptanya suatu tatanan pendidikan
yang mapan dalam upaya penciptaan mutu lulusan yang capabel di
bidang keilmuannya, skillnya dan bahkan akhlaqnya.
Krisis profesionalisme guru dalam dunia pendidikan
merupakan problematika tersendiri bagi dunia pendidikan dalam menciptakan
mutu yang baik yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran guru akan jabatan dan
tugas yang diembannya serta tanggung jawab keguruannya. Guru hanya menganggap
“mengajar” sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau hanya untuk
memperoleh salary dan sandang pangan demi survival fisik
jangka pendek, agaknya akan berbeda dengan cara seseorang yang memandang tugas
atau pekerjaannya sebagai calling profesio dan amanah yang
hendak dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan[15]
Disamping itu munculnya sikap malas dan tidak disiplin
waktu dalam bekerja dapat bersumber dari pandangannya terhadap pekerjaan dan
tujuan hidupnya. Karena itu, adanya etos kerja yang kuat pada seseorang guru
memerlukan kesadaran mengenai kaitan suatu pekerjaan dengan pandangan hidupnya
yang lebih menyeluruh dan memberinya keinsyafan akan makna dan tujaun hidunya.
Hal yang mempengaruhi terhadap lemahnya sikap
profesionalisme dan etos kerja guru disebabkan oleh dua faktor penting :
1. Faktor pertimbangan internal, yang menyangkut ajaran
yang diyakini atau sistem budaya dan agama, semangat untuk menggali informasi
dan menjalin komunikasi.
2. Faktor pertimbangan eksternal yang menyangkut
pertimbangan historis, termasuk di dalamnya latar belakang pendidikan dan
lingkungan alam di mana ia hidup, pertimbangan sosiologis atau sistem sosial di
mana ia hidup dan pertimbangan lingkungan lainnya.
Dalam konteks pertimbangan eksternal, terutama yang
menyangkut lingkungan kerja, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi semangat
kinerja guru, yaitu : (1) volume upah yang dapat memenuhi kebutuhan seseorang,
(2) suasana kerja yang menggairahan atau iklim yang ditunjang dengan komunikasi
demokrasi yang serasi dan manusiawi antara pimpinan dan bawahan, (3) penanaman
sikap dan pengertian di kalangan pekerja, (4) sikap jujur dan dapat dipercaya
dari kalangan pimpinan terwujud dalam kenyataan, (5) penghargaan terhadap need
for achievement (hasrat dan kebutuhan untuk maju) atau penghargaan
terhadap yang berperstasi (reward and punishment) dan (6)
sarana yang menunjang bagi kesejahteraan mental dan fisik.[16]
IV.
Telaah
Epistemologis Menuju Profesionalisme Guru PAI
Menghadapi problematika dunia pendidikan dewasa ini
yang berkaitan dengan penyiapan tenaga pendidik (guru) PAI yang profesional
merupakan tantangan tersendiri yang membutuhkan penyelesaian secara
epistemologis. Problematika tersebut antara lain, mampukah pendidikan agama
Islam menghasilkan lulusan yang dapat memainkan peranan secara fungsional di
tengah-tengah dunia keilmuan yang sedang berkembang, dan mampukah dunia
pendidikan menciptakan mutu lulusan yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam
seperti sedia kala (seperti masa keemasan dunia keilmuan Islam).
Tantangan tersebut bila dapat dijawab secara tepat
akan menjadi peluang yang akan memberikan keuntungan yang luar biasa bagi
terciptanya profesionalisme guru PAI yang berimplikasi pada penyiapan mutu lulusan
yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam. Hal tersebut perlu dikemukakan
karena secara kelembagaan dunia pendidikan dengan ujung tombak guru merupakan
lembaga yang dipercaya untuk menyiapkan kader pemimpin masa depan bangsa.
Berkaitan dengan ini, maka upaya untuk membangun profesionalisme guru secara
epistemologis tidak dapat ditunda-tunda lagi. Untuk itu, beberapa pemikiran
epistemologis guna menciptakan profesionalisme guru PAI yang dapat mengangkat
dunia keilmuan Islam di bawah ini perlu dipertimbangkan dan direnungkan.
Pertama, telah banyak pemikiran yang dikemukakan para ahli
dalam rangka menjawab pertanyaan yang dihadapi lembaga pendidikan tersebut.
Sebagian pakar mengajukan konsep cooperative kearning. Argumen
yang diajukan berkenaan dengan konsep ini adalah masalah-masalah yang kita
hadapi dewasa ini dan di masa depan sebenarnya bersifat saling berkaitan dan
lebih tepat kalau dipandang sebagai jaringan-jaringan masalah yang kompleks.
Dengan konsep belajar itu, setiap masalah akan didekati dengan pendekatan yang
bersifat holistic dan integrated, mengingat
masalah pendidikan bukanlah masalah yang bersifat hierarkis struktural,
melainkan saling terkait dengan masalah lain secara horizontal. Kerja sama
dunia pendidikan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, perusahaan,
industri, yayasan dan lain sebagainya sangat diperlukan dalam rangka pembinaan
dan peningkatan profesionalisme guru dalam mempersiapkan mutu lulusan yang
mampu menciptakan kemajuan dalam dunia keilmuan Islam seperti halnya kemajuan
yang pernah dicapai oleh dunia keilmuan Islam tempo dulu.
Kedua, Torstein Hussein dalam bukunya Learning
Society, sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata mengajukan konsep yang
disebut sebagai “masyarakat belajar”. Menurut konsep ini, belajar di masa
sekarang tidak dapat hanya dilakukan di ruang kelas, tetapi dengan cara
mengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di masyarakat ke dalam
kegiatan belajar mengajar. Bahan-bahan informasi yang terdapat di berbagai
media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, komputer dan lain
sebagainya harus didayagunakan untuk kepentingan proses pembelajaran. Melalui
hal ini, guru akan mendapatkan suatu arahan, pembinaan mengenai hal-hal yang
dapat meningkatkan keprofesionalannya dalam proses pembelajaran di lembaga
pendidikan di mana ia bertugas, sehingga ia dapat dengan mudah menciptakan
kualitas dan mutu peserta didiknya yang up to date dan sesuai
dengan harapan masyarakat.[17]
Ketiga, problematika dunia pendidikan sebagaimana
dikemukakan di atas, menghendaki dunia pendidikan menata ulang berbagai aspek
pendidikan yang selama ini dilakukan. Aspek-aspek pendidikan seperti dasar
pendidikan, tujuan, kurikulum, metode dan pendekatan yang digunakan, sarana dan
prasarana yang tersedia, lingkungan, evaluasi dan sebagainya perlu ditinjau
ulang. Mengingat gurulah yang berada paling depan dalam kegiatan pendidikan,
maka guru harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan tugas dan profesi
yang diembannya dan jangan pernah menganggap profesinya itu sebagai kegiatan
untuk mencari uang saja atau untuk hidup survive dalam waktu
jangka pendek. Dalam diri guru harus ditanamkan sikap tanggung jawab yang
tinggi terhadap tugas yang diembannya dan guru harus memiliki sikap-sikap
sebagai manusia yang berfikir rasional, dinamis, kreatif, inovatif, beroientasi
pada produktivitas, bekerja secara profesional, berwawasan luas, berpikir jauh
ke depan, menghargai waktu dan seterusnya. Selain itu, diperlukan penanaman
kepribadian yang tangguh dan pembudayaan akhlaqul karimah dalam setiap
perbuatan kesehariannya agar menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya.
Keempat, dalam rangka penyiapan profesionalisme guru yang
mampu mengangkat terhadap dunia keilmuan Islam, diperlukan kerja sama dari
berbagai pihak, utamanya pemimpin lembaga pendidikan sebagai pembuat kebijakan
di sekolah. Dalam hal ini, pemimpin lembaga pendidikan Islam hendaknya memiliki
pandangan ke depan (visioner) terhadap lembaga pendidikan yang dipimpinnya,
sehingga ia akan termotivasi untuk selalu meningkatkan kinerja stafnya
(termasuk guru) menuju kepada profesionalitas yang tinggi dalam rangka
menyiapkan mutu lulusannya yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam. Di
samping itu, untuk meningkatkan profesionalisme gurunya, pemimpin hendaknya
memiliki strategi yang efektif dan efisien dalam mewujudkan guru yang
profesional tersebut, sehingga visi, misi dan target pendidikan yang
berlangsung dalam lembaga yang dipimpinnya dapat tercapai, apakah dengan
memberikan reward bagi yang berhasil dan sukses atau
memberikan pengarahan lebih lanjut atau bahkan punishment bagi mereka yang tidak mau meningkatkan
keprofesionalannya dan lain sebagainya.
Disamping peran pemimpin dalam lembaga pendidikan,
maka diperlukan pula political will atau kebijakan politis dari
pemerintah dalam rangka menciptakan guru yang profesional, misalnya dengan
memberikan penyuluhan, pelatihan, pemberian dana dalam upaya peningkatan
profesionalitas guru agar supaya tercipta sosok guru yang profesional dan
bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Tentunya dengan adanya kerja
sama dari berbagai pihak tersebut, maka tantangan apapun yang berkaitan dengan
upaya peningkatan profesionalisme guru dapat teratasi dengan mudah.
V.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian yang telah dipaparkan di
atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagi berikut:
1. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang
sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada
suatu obyek kajian ilmu yang tinjauannya meliputi : sumber-sumber ilmu, cara
memperoleh ilmu, ruang lingkup ilmu dan validitas pengetahuan.
2. Guru yang profesional adalah guru memiliki dua
kategori, yaitu capability dan loyality, artinya
guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki
kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan,
implementasi sampai evaluasi dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal
kepada tugas-tugas keguruan yang tidak semata-mata di dalam kelas, tapi sebelum
dan sesudah di kelas
3. Problematika profesionalisme guru disebabkan oleh
kurangnya kesadaran guru akan jabatan dan tugas yang diembannya serta tanggung
jawab keguruannya secara vertikal maupun horizontal dan munculnya sikap malas
dan tidak disiplin waktu dalam bekerja yang mengarah pada lemahnya etos kerja.
4. Untuk mengatasi problematika pendidikan yang berkaitan
dengan profesionalisme guru diperlukan kerja sama dunia pendidikan dengan
instansi-instansi lain, pengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di
masyarakat ke dalam kegiatan belajar mengajar, penananaman tanggung jawab yang
tinggi terhadap tugas yang diembannya dan pembudayaan akhlaqul karimah dalam
setiap perbuatan kesehariannya serta diperlukan kerja sama dari berbagai pihak,
utamanya pemimpin lembaga pendidikan dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan
DAFTAR
RUJUKAN
Ali, Muhammad, Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, Bandung : Sinar
Baru, 1992
Asy’ari, Musa, Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam
berfikir), Yogyakarta : LEFSI,
2001
Buchori, Mochtar, Ilmu Pendidikan dan Praktek
Pendidikan dalam Renungan,Jakarta
: IKIP Muhammadiyah Perss, 1994
Ghafur, Abd., Desain
Instruksional , Solo : Tiga
Serangkai, 1998
Hadi, P. Hardono, Epistemologi, Filsafat
Pengetahuan, Yogyakarta : Kanisius,
1994
Prasetya, Filsafat Pendidikan, Bandung : Pustaka Setia, 2002
Hamalik, Oemar, Sistem dan Prosedur
Pengembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Bandung : Trigenda Karya, 1991
Muhaimin, Paradirgma Pendidikan Islam : Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2002
Nata, Abudin, Paradigma Pendidikan Islam :
Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta : PT Gramedia, 2001
Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan
Demoratis, Jakarta : Kencana,
2004
S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Sagala, Syaiful, Administrasi Pendidikan
Kontemporer, Bandung : Alfabeta, 2000
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak
Thales sampai Capra, Bandung : Rosda Karya, 2001
Titus, Harold H., Persoalan-persoalan
Filsafat, (penerjemah M. Rasyidi), Jakarta : Bulan Bintang, 1984
Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam,
Yogyakarta : Naila Pustaka, 2011
[1] Penulis adalah Dosen
Tetap STAI Ngawi.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1996), 105.
[6] Ibid, 144
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak
Thales sampai Capra, (Bandung : Rosda Karya,2001), 23
[11] Mochtar Buchori, Ilmu Pendidikan dan Praktek
Pendidikan dalam Renungan, (Jakarta
: IKIP Muhammadiyah Perss, 19940), 37
[12]Oemar
Hamalik, Sistem dan Prosedur Pengembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan
dan Pelatihan, (Bandung : Trigenda
Karya, 1991), 23
[15] Muhaimin, Paradirgma Pendidikan Islam : Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2002),
118
[17] Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam : Kapita Selekta
Pendidikan Islam, (Jakarta :PT
Gramedia, 2001), 148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar