Halaman

Rabu, 27 Agustus 2008

KEPEMIMPINAN KYAI

KEPEMIMPINAN KYAI YANG BERORIENTASI PADA
IMTAQ DAN IPTEK
(Studi Kasus di Pondok Pesantren Wilayatul Ummah Kampung Damai Ponorogo)
Hariadi
Abstract: This study about kyai leadership and focused on his leadership orientation. Findings show that the leadership of the kyai is oriented to development of IMTAQ and that completed with IPTEK can produce a leader that has good emotional and spiritual quotient (ESQ). It is recommended that, who are improve their leadership orientation, should improve the quality of IMTAQ and the quality of IPTEK capability.
Kata kunci: pondok pesantren, kepemimpinan kyai, orientasi, IMTAQ, IPTEK
Sejarah mencatat, bahwa pesantren sebagai sebuah subsistem pendidikan nasional telah memberikan kontribusinya yang signifikan bagi peradaban Islam di bumi persada Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan yang indigenous (asli) Indonesia, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya, dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan (Ismail SM:2002). Hal ini membuktikan bahwa pondok pesantren mempunyai kekuatan dan kemampuan strategis untuk menghasilkan manusia yang berkualitas: memiliki pengetahuan yang luas; bepikiran maju; berwawasan kebangsaan yang kuat (Djojonegoro:1991).
Kondisi yang demikian itu memunculkan suatu tipe kepemimpinan sebagaimana yang disebut oleh Weber (1974) sebagai kepemimpinan kharismatik. Pemimpin dikatakan karismatik karena mempunyai karakteristik tertentu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Greenberg dan Baron (1997). Karakteristik tersebut antara lain: (1) pemimpin mempunyai kepercayaan diri, (2) memimiliki visi kepemimpinan, (3) perilaku kepemimpinannya tidak biasa (extraordinary), (4) mengakui perlunya perubahan, dan (5) sensitif terhadap perubahan (Hasri:2004:174). Sahertian (1994:371) menambahkan kepemimpinan kharismatik itu ada pada seseorang yang memiliki sifat-sifat kepribadian yang paling luhur, sering dihubungkan dengan ciri-ciri psikologis, seperti: (1) dapat dipercaya, (2) ramah-tamah, (3) jujur, (4) bersemangat, (5) penuh daya dan image, serta (6) tabah dan bijaksana. Dimana kepemimpinan kharismatik ini didapat dari pengabdian diri terhadap kesucian, kepahlawanan tertentu, atau sifat-sifat yang patut dicontoh dari seseorang, dan dari corak tata tertib yang diperlihatkan olehnya (Kartodirdjo:1986:166).
Dalam konteks budaya pesantren, kepemimpinan kyai yang berorientasi pada IMTAQ dan IPTEK adalah suatu pola kepemimpinan yang berdasar dan mengedepankan pada penerapan nilai-nilai IMTAQ kepada Allah SWT dengan memanfaatkan IPTEK guna menopang kepemimpinan kyai dalam mengelola pesantrennya.
Karakter pemimpin yang berorientasi kepada IMTAQ dan IPTEK, pada dasarnya adalah suatu pola kepemimpinan yang terinspirasikan dan berorientasikan pada pengamalan ruh ajaran Islam, yang terangkum ke dalam IMTAQ dalam praktek kepemimpinan, dan dengan ditopang oleh pemanfaatan nilai-nilai dan hasil-hasil IPTEK. Kualitas IMTAQ seseorang dapat dipresentasikan dalam bentuk praktek spiritual dalam kehidupan sehari-hari, yang selanjutnya dikenal dengan kemampuan/kecerdasan spiritual atau dikenal dengan sebutan Spiritual Quotien (SQ). Sedangkan kualitas penguasaan IPTEK seseorang dapat dipresentasikan dalam bentuk tinggi-rendahnya kemampuan/kecerdasan intelektual atau yang dikenal dengan sebutan Intelektual Quotient (IQ). Bila seseorang (pemimpin) mampu menggabungkan kedua kecerdasan tersebut Ia akan memiliki, apa yang oleh Agustian (2001) disebut sebagai “Kecerdasan Emosi dan Spiritual” (ESQ).
Menurut Agustian (2001) dalam bukunya “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi san Spiritual (ESQ/Emotional Spiritual Quotient)” di akhir halaman bukunya tersebut melampirkan seperangkat metode untuk meningkatkan kualitas kecerdasan emosi-spiritual (Emotional Spiritual Quotient / ESQ) seseorang, dengan judul “Barometer Suara Hati”. Semua item pertanyaan yang ada pada “Barometer Suara Hati” tersebut berdasarkan pada pemahaman atas makna yang terkandung din dalam “Asmaul Husna” Allah SWT yang berjumlah 99 “Asmaul Husna” yang merupakan refleksi atas sifat-sifat mulia Allah SWT.
Dalam konteks yang lebih menjurus pada pembahasan tentang kreteria pemimpin yang berkualitas, Hawari (2003) dalam bukunya yang berjudul “IQ, EQ, CQ dan SQ : Kreteria Sumber Daya Manusia (Pemimpin) Berkualitas”, pada akhir pembahasan tentang “SQ (Spiritual Quotient) Kecerdasan Spiritual)” pada Bab V melampirkan “Skala Dimensi Religi”. Dalam Sekala Dimensi Religi tersebut semua item pertanyaannya bersumber dari pemahanan dan pengamalan nilai-nilai Rukun Iman dan Rukun Islam yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berpijak pada uraian tersebut, maka dapat dipahami adanya keterkaitan yang signifikan antara kualitas IMTAQ dan IPTEK seseorang terhadap orientasi kepemimpinan seseorang dalam memimpin sebuah organisasi atau lembaga. Sehingga bisa dikatakan bahwa kualitas IMTAQ dan IPTEK seseorang itu dapat pula mempengaruhi kualitas IQ, EQ, SQ dan ESQ-nya yang tercermin dalam segala sifat yang mendoninasi pada dirinya.
Untuk mendukung teori tersebut, perlu dibahas juga tentang karater atau sifat pemimpin yang hanya beorientasi pada:
(1). Orientasi Kepemimpinan pada IQ
Pemimpin dengan IQ yang tinggi akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dibidangnya maupun hal-hal lain yang terkait dengan bidang tersebut. Selain dari pada itu ia mampu juga mengantisipasi perubahan-perubahan di masa yang akan datang, yang pada gilirannya ia akan mampu menghadapi perubahan itu dengan berbagai solusi dan alternatif pemecahannya.
Pendek kata seorang pemimpin yang memiliki IQ tinggi tampak sebagai sosok yang dapat melakukan analisa persoalan yang dihadapinya dengan bijaksana, yakni: (1) akan mencari segi-segi kekuatan (strength), (2) kelemahan (weakness), (3) peluang (opportunity, dan (4) ancaman (threat) dari persoalan tersebut sebelum dicari pemecahannya (Hawari:2003:16-17). Pola analisis permasalahan yang demikian itu lazimnya disebut sebagai analisis SWOT.
(2). Orientasi Kepemimpinan pada EQ
Pemimpin dengan EQ yang tinggi, menurut Hawari (2003:2023) sejak dini telah memiliki karakter atau sifat-sifat sebagai berikut: (1) mampu mengendalikan diri, (2) sabar, (3) tekun, (4) tidak emosional, (5) tidak reaktif, serta (6) fositive thinking.
Dengan demikian pemimpin yang berorientasi pada EQ ini akan tampak: (1) lebih mengutamakan kesejahteraan umum (masyarakat banyak) daripada kesejahteraan dirinya, (2) berkorban demi kepentingan umum serta tidak mementingkan kepentingan dirinya sendiri (tidak egois), (3) peduli terhadap penderitaan orang lain (rakyat), dan (4) Ia juga memiliki budi pekerti yang luhur, sehingga dapat menjadi tokoh panutan (suri tauladan).
Ruh kepemimpinan yang berorientasi pada EQ ini sebagaimana yang tergambar berikut:
Gambar 2.1 Gambar Model Kecerdasan Emosional (EQ)

Manusia Manusia
Sumber:Diadaptasi dari Ary Ginanjar Agustian.2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ): Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga.

(3). Orientasi Kepemimpinan pada SQ
Untuk menjembatani agar manusia tidak kehilangan arah hidupnya harus diarahkan untuk menuju kepada Tuhannya, dari yang bersifat humanistis (EQ) ke arah yang Theosentris (SQ). Sehingga pemimpin yang demikian ini akan berperilaku sebagai berikut: (1) selalu memegang amanah, (2) konsisten (istiqomah), dan (3) tugas yang diembannya dipandang sebagai ibadah terhadap Tuhan. Oleh karenanya, semua sikap, ucapan dan tindakannya selalu mengacu pada nilai-nilai moral dan etika agama, ia selalu memohon taufiq dan hidayah dari Allah SWT dalam melaksanakan amanah yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin ini dalam menjalankan tugasnya selalu berpijak pada “amar ma’ruf nahi munkar” (mengajak kebaikan dan mencegah kejahatan).
Berdasar pada uraian tersebut ruh kepemimpinan yang hanya berorientasi pada SQ bisa digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2 Gambar Model Kecerdasan Spiritual (SQ)

Tuhan

Manusia
Sumber: Diadaptasi dari Ary Ginanjar Agustian.2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ): Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga.

(4). Orientasi Kepemimpinan pada ESQ
Sebenarnya secara teoritis kepemimpinan yang berorientasi pada ESQ ini adalah merupakan penggabungan antara aspek EQ dengan aspek SQ yang ada pada diri seseorang (Pemimpin). Meskipun keduanya berbeda, namun menurut Agustian (2004:xi) ternyata EQ dan SQ memiliki muatan yang sama-sama penting untuk dapat bersinergi antara satu dengan yang lainnya. Keduanya dapat disinergikan ke dalam bentuk ESQ (Emotional and Spiritual Quotient).
Dengan bersinerginya antara EQ dan SQ ke dalam ESQ di dalam diri seseorang (Pemimpin) akhirnya akan memuncukan sosok pemimpin yang tidak hanya memiliki kepekaan terhadap sesama manusia (hablum minannas), tetapi juga memiliki kepekaan terhadap Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa (hablum minnaallah). Keseimbangan hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara manusia dengan Tuhan yang melahirkan ESQ (Emotional and Spiritual Quotient) tersebu dapat digambarkan sebagai berikut:




Gambar 2.3 Gambar Model Kecerdasan Spiritual dan Spiritual(ESQ)

Tuhan


Manusia Manusia

Sumber: Diadaptasi dari Ary Ginanjar Agustian.2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ): Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta:
Arga.
Mendasar pada uraian tersebut, maka bisa ditarik sebuah benang merah akan adanya keterkaitan erat antara sifat-sifat kepemimpinan yang berorientasi pada IMTAQ dan IPTEK dengan kepemimpinan yang berorientasi pada ESQ. Karena seorang pemimpin yang ingin memiliki ESQ tinggi dapat diperoleh dengan mengasah daya kepemimpinannya melalui pemantapan IMTAQ dan IPTEK yang dikuasainya dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kehidupan organisasi yang dipimpinnya. Sehingga pada gilirannya akan lahirlah seorang pemimpin yang tidak hanya memiliki keshalehan individual (hablum minnallah), tetapi juga memiliki keshalehan social (hablum minnannas) secara seimbang.
METODE
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendasarkan pada orientasi teoritik fenomenologis, yang akan digunakan sebagai landasan berfikir untuk memahami makna suatu gejala dilatar penelitian. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut: pertama, pada dasarnya realitas fenomena yang ada pada suatu organisasi atau institusi terkonstruksi secara menyeluruh (holistic) dan tidak merupakan bagian yang terpisah-pisah antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Kedua, dengan orientasi teoritik fenomenologis peneliti dapat menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan subyek yang diteliti secara lebih peka, dan dapat dilakukan penajaman terhadap pola-pola budaya yang ada pada sebuah institusi atau orgaisasi yang diteliti. Ketiga, karena penelitian kualitatif bersifat natural, deskriptif, induktif dan merupakan suatu usaha untuk menemukan makna dari suatu fenomena yang ada pada subyek yang diteliti, maka orientasi teoritik fenomenologis adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif (Moleong: 2001).
Fokus dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini difakuskan pada: (1) bagaimana orientasi kepemimpinan kyai di Pondok Pesantren Wilayatul Ummah Kampung Damai Ponorogo, (2) bagaimana pandangan kyai terhadap nilai-nilai IMTAQ dan hasil IPTEK modern, (3) bagaimana penerapan nilai-nilai IMTAQ dan hasil IPTEK modern di Pondok Pesantren Wilayatul Ummah Kampung Damai Ponorogo, (4) bagaimana pengembangan pondok pesantren yang berorientasi pada nilai-nilai IMTAQ dan hasil IPTEK modern di Pondok Pesantren Wilayatul Ummah Kampung Damai Ponorogo.
Sedangkan lokasi penelitian in adalah Pondok Pesantren Wilayatul Ummah (PPWU) Kampung Damai Ponorogo, tepatnya berada di Desa Kampung Damai Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo. PPWU dipilih sebagai lokasi penelitian, karena PPWU adalah salah satu pesantren yang sejak awal berdirinya, tahun 1961, telah melaksanakan pola pembelajaran yang tidak hanya menekankan pada peningkatan kualitas IMTAQ bagi para santrinya, tetapi juga meningkatkan kualitas IPTEK yang dikuasai oleh para santrinya.
Teknik Pengumpulan Data
Karena salah satu karakteristik penelitian kualitatif adalah menggunakan latar alami di lokasi penelitian sebagai sumber data, maka peneliti sendiri bertindak sebagai instrumen kunci (key instrument). Untuk itu peneliti akan masuk ke latar tertentu yang menjadi fokus penelitian. Dengan demikian, fenomena yang alami tersebut dapat dimengerti maknanya sercara baik oleh peneliti apabila dilakukan dengan menggunakan multi instrumen, misalnya dengan observasi partisipan partisipan partisipan atau pengamatan, dokumentasi dan lain-lain dalam latar tempat fenomena itu terjadi. Sumber data ini berasal dari apa yang dikatakan orang, dilakukan orang di lokasi penelitian . Sedangkan untuk menentukan siapa saja yang akan dijadikan sumber data (informan), maka peneliti menggunkan teknik bola salju (snowball sampling).
Oleh karena itu, untuk mendukung strategi penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data, sebagai berukut: (1) teknik observasi partisipan, (2) teknik wawancara mendalam, dan (3) teknik dokumentasi. Ketiga teknik ini dalam proses pengumpulan data dilaksanakan secara terintegrasi antara satu dengan yang lainnya.
Analisi Data
Proses analisis data ini sudah dimulai sejak peneliti memasuki latar penelitian dengan cara menelaah data yang dikumpulkan, baik data yang diperoleh melalui observasi partisipan dalam bentuk catatan lapangan, maupun dari wawancara mendalam yang sudah ditranskripsikan ke dalam bentuk ketikan, dokumen resmi, perbincangan informal dan foto.
Data tersebut direduksikan dengan cara membuat abstraksi yang berisi rangkuman inti, dengan tetap memperhatikan proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu tetap dijaga agar tetap berada dalam konteksnya serta mempunyai pengertian yang jelas. Reduksi data ini menurut Miles dan Huberman (1992) adalah merupakan bentuk analisis penajaman, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu, dan mengorganisasikannya sehingga kesimpulan finalnya dapat dibuat.
Dengan demikian peneliti harus bergerak diantara empat “sumbu” kumparan selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi, sebagaimana digambarkan oleh Miles dan Huberman (1984:23) berikut ini:
Gambar 2.1 Komponen-Komponen Analisis Data: Model Interaktif









Sumber: Miles, M.B. dan Huberman, A.M.1984.Qulitative Data Analysis.London: Sage Publication. P.23.
Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data dapat dicek dan diperiksa dengan menggunkan beberapa kreteria, antara lain: (1) kredebelitas, yang dilakukan dengan jalan trianggulasi sumber data dan wawancara mendalam, (2) dependebilitas, dan (3) konfirmabilitas.
PEMBAHASAN
A. Kepemimpinan yang cenderung berorientasi kepada Emotional-Spiritual Quotient (ESQ).
Untuk mengawali diskusi ini peneliti menyajikan formula kecenderungan kepemimpinan yang berorientasi kepada IMTAQ dan IPTEK. Adapun formulasi kepemimpinan yang berorientasi pada IMTAQ dan IPTEK yang mengacu pada kualitas IQ, EQ, dan SQ seorang pemimpin dapat digambarkan sebagaimana kwadran orientasi kepemimpinan berikut:
Gambar 5.4 Kwadran Kecenderungan Kepemimpinan Yang Berorientasi Pada IMTAQ dan IPTEK
+

SQ


ESQ



IQ

EQ

-
- +
Keterangan :
Garis Vertikal: Menggambarkan kualitas Keimanan dan Ketaqwaan (INTAQ) pemimpin, dimana makin ke atas maka makin tinggi tingkat kualitas INTAQ-nya, begitu pula sebaliknya makin ke bawah maka makin rendah tingkat kualitas IMTAQ-nya.
Garis Horisontal:Menggambarkan kualitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang dikuasai pemimpin, dimana makin ke kanan maka makin tinggi kualitas IPTEK-nya, begitu pula sebaliknya makin ke kiri maka makin rendah kualitas IPTEK-nya.
Kepemimpinan yang cenderung hanya berorientasi pada:
1. IQ : (IMTAQ = - ; IPTEK = - )
2. EQ : (IMTAQ = - ; IPTEK = + )
3. SQ : (IMTAQ = +; IPTEK = - )
4. ESQ : (IMTAQ = + ; IPTEK = + )
Dengan demikian kemampuan seseorang dalam memimpin organisasi atau lembaga dapat dipengaruhi oleh kualitas IMTAQ-nya, beserta tinggi-rendahnya IPTEK yang dikuasainya. Baik kualitas IMTAQ maupun tinggi-rendahnya IPTEK seseorang akan berdampak pada pemanfaatan IQ, EQ, SQ dan ESQ seseorang dalam proses kepemimpinan yang dijalankannya.
Penjelesan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
1. Bagi mereka yang hanya memiliki kualitas IMTAQ dan IPTEK yang rendah, maka dalam proses kepemimpin yang dijalankan di organisasi yang dipimpinnya maksimal cenderung hanya menggunakan kemapuan IQ yang dimilikinya.
2. Sedangkan bagi mereka memiliki kualitas IMTAQ rendah, tetapi IPTEK yang dikuasainya tinggi, maka proses kepemimpin yang dijalankan di organisasi yang dipimpinnya maksimal cenderung hanya menggunakan kemapuan EQ yang dimiliki saja.
3. Beda lagi dengan halnya bagi mereka yang memiliki kualitas IMTAQ tinggi, tetapi IPTEK yang dikuasainya rendah, maka proses kepemimpin yang dijalankan di organisasi yang dipimpinnya maksimal cenderung hanya menggunakan kemapuan SQ yang dimiliki saja.
4. Yang terakhir ini adalah kelompok yang ideal, yakni bagi mereka yang memiliki kualitas IMTAQ tinggi, dan sekaligus IPTEK yang dikuasainya juga tinggi, maka proses kepemimpin yang dijalankan di organisasi yang dipimpinnya maksimal cenderung akan menggunakan kemapuan EQ dan SQ yang dimilikinya digabungkan menjadi ESQ.
Perlu ditambahkan bahwa kadar IQ, EQ, SQ dan ESQ antara orang satu dengan yang lainnya berbeda dan hanya kadar EQ, SQ dan ESQ yang dapat ditingkatkan. Sedangkan untuk kadar IQ seseorang secara psikologis pada dasarnya adalah tetap. Untuk itu bisa dijelaskan pula bahwa bagi seseorang yang meningkatkan IPTEK akan meningkat kualitan EQ-nya. Demikian pula, dengan meningkatkan kualitas IMTAQ, kualitas SQ seseorang juga akan meningkat pula. Yang paling ideal, bagi mereka yang dapat meningkatkan kualitas IMTAQ tinggi, dan sekaligus IPTEK yang dikuasainya juga tinggi, maka yang bersangkutan akan memiliki kualitas ESQ yang tinggi pula
B. Pola Kecenderungan Orientasi Kepemimpinan Kyai di PPWU

Berangkat dari pemikiran yang telah diformulasikan sebagaimana gambar kwadran kecenderungan kepemimpinan di atas, maka orientasi kepemimpinan para pimpinan di Pondok Pesantren Wilayatul Ummah (PPWU) Kampung Damai Ponorogo dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan yang dominan berorientasi pada IQ
Dalam konteks kepemimpinan yang ada di PPWU adalah kepemimpinan K. Abdullah-221 dan K. Abdullah-131 yang menampakan pola kepemimpinan yang berorientasi pada dominasi IQ. Hal ini terbukti dalam kapasitasnya sebagai salah satu pimpinan PPWU yang berperan dalam membina dan mengendalikan bidang pendidikan dan pengajaran di PPWU selalu berfikir strategik dalam merancang pengembangan orientasi pendidikan dan pengajaran di PPWU ke depan.
Pemahaman tentang pola orientasi kepemimpina K. Abdullah-221 tersebut disimpulkan dari wawancara peneliti dengan ust. Muhklisin-005, yang menyebutkan bahwa K. Abdullah-221 dalam ikut memimpin PPWU, khususnya ketika menjabat sebagai direktur TMI selalu menampilkan sebagai sosok yang bisa dikatakan sebagai sosok “pendidik tulen”. Artinya apa saja yang dilakukan oleh K. Abdullah-221 semuanya mengandung nilai-nilai pendidikan, bahkan sampai timbul istilah “ajrih asih” yang melekat pada diri K. Abdullah-221.
Ajrih asih tersebut merupakan penggambaran pendekatan perilaku yang berupa ucapan dan tindakan K. Abdullah-221 dalam mendidik para santri PPWU, yang tampaknya menakutkan tetapi sebenarnya apabila dicerna secara cermat adalah pendidikan yang penuh dengan rasa kasih sayang agar para santri PPWU dapat mencapai keberhasilan di masa yang akan datang.
Dengan demikain untuk mengembangkan suatu pendekatan “ajrih asih” dalam dunia pendidikan tidaklah mudah tanpa didasari oleh adanya kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi. Karena dengan adanya kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi tersebut seseorang akan dapat menyusun setrategi secara tepat dengan mempertimbangkan siatuasi dan kondiri obyektif yang ada dilapangan. Sehingga dapat dikatakan tidak sembarang orang yang dapat melaksanakan pendekatan “ajrih asih” tersebut di dalam dunia pendidikan.
Sedangkan tentang informasi pola kepemimpinan K. Abdullah-131 tersebut, sebagaimana yang telah diuraikan pada paparan data sebelumnya adalah bersumber dari hasil wawancara peneliti dengan ust. Muhklisin-004, yang pada saat ini yang bersangkutan adalah sebagai staf ahli K. Abdullah-131 dalam menggagas pengembangan pendidikan dan pengajaran di PPWU mendatang. Untuk lebih lengkapnya pemikiran strategik tersebut disampaikan oleh ust. Muhklisin-004 dalam menjelaskan yang dimaksud dengan “unggulan” bagi PPWU adalah:
“Bagi santri PPWU di masa mendatang yang ingin mendalami ilmu-ilmu umum diarahkan secara jelas spesialisasinya dengan tanpa kehilangan jati dirinya sebagai santri, yakni memiliki ilmu agam Islam yang standar. Dan sebaliknya bagi santri yang ingin mendalami ilmu agama, juga harus diarahkan secara jelas spesialisasinya dengan tanpa mengalami kebutaan dalam ilmu-ilmu umum, sehingga yang bersangkutan harus memiliki pengetahuan umum yang standar pula”.

Pemikiran yang strategik tersebut tidak akan bisa muncul dan terlaksana dengan baik tanpa adanya seorang yang mampu menganalisis persoalan secara komprehensif terhadap potensi yang ada di PPWU saat ini. Menganalisis persoalan secara komprehensif ini lazimnya disebut dengan analisis SWOT. Analisis SWOT hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang memiliki IQ yang tinggi. IQ yang tinggi ini merupakan representasi dari seseorang yang memiliki atau menguasai ilmu pengetahuan yang tinggi pula.
Lagi pula, saat ini K. Abdullah-131 masih tercatat sebagai salah satu mahasiswa S-3 pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menurut hemat peneliti yang bersangkutan memilki IQ yang tinggi sehingga di masa mendatang akan bisa mengantarkan PPWU kepada kemajuan yang membanggakan umat Islam secara umum.
2. Kepemimpinan yang dominan berorientasi pada EQ
Sedangkan pola kepemimpinan yang cenderung berorientasi pada dominasi EQ di PPWU pada saat ini dipresentasikan oleh pola kepemimpinan K. Abdullah-313 dan K. Abdullah-331
Menurut pengamatan peneliti, K. Abdullah-313 dalam memimpin PPWU menampakan sifat-sifat kepemimpinan yang dominan pada EQ, yang meliputi: (1) sederhana. (2) ramah, (3) terbuka, (4) tidak relaan (ora mentalan: Bhs. Jawa), dan (5) bisa memegang amanah dari para pendiri PPWU.
Walaupun dilihat dari sisi jenjang pendidikan yang pernah dialaminya lebih rendah dari kedua pimpinan PPWU yang lain(K. Abdullah-331 dan K. Abdullah-131), yang bersangkutan bisa menempatkan diri sebagai salah satu pimpinan yang mengendalikan bidang perwakafan (terutama yang bersumber dari K. Abdullah-211 ) telah dijalankan secara baik. Terutama yang diamanahkan oleh kyai pendiri (dia menerangkan bahwa yang memberikan amanah tentang hal ini adalah K. Abdullah-121). Karena hal yang demikian ini pun juga didukung oleh Majlisu Riyasatil Ma’had, sebagai lembaga pengambil keputusan tertinggi di PPWU.
Mengingat menangani persoalan tanah wakaf adalah merupakan tugas yang amat berat, apalagi tanah wakaf tersebut dikelola dan menghasilkan uang, maka tidak semua orang mampu menanganinya secara baik, tanpa tergoda untuk mencicipi hasilnya untuk kepentingan pribadinya. Dalam kasus ini K. Abdullah-313 bisa memilah-milah, mana yang milik pribadi dan mana yang milik pondok.
Untuk itu, langkah yang diambil dalam mengelola tanah-tanah yang telah diserahkan kepada PPWU oleh K. Abdullah-211, maka diajaklah seluruh anggota keluarga yang berasal dari nasab (keturunan) K. Abdullah-211 untuk bermusyawarah dan akhirnya disepakati, “semua anak dan keturunan dari K. Abdullah-211 tidak diperkenankan memiliki tanah-tanah terebut untuk kepentingan pribadi, dengan dibuktikan untuk menandatangani surat pernyataan diatas materai/segel, mulai dari anak sampai para cucu”. Langkah yang demikian ini tidak bisa dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki EQ yang tinggi
Sedangkan K. Abdullah-331 pola kepemimpinannya juga tampak dominan berorientasi pada EQ, karena K. Abdullah-331 dalam ikut memimpin PPWU lebih berperan pada aspek kepengasuhan santri. Untuk mengasuh santri yang jumlahnya cukup banyak, yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tentunya membutuhkan sifat kebapakan yang tinggi. Hal ini maksudkan agar kehadirannya ditengah-tengah santri dapat dipandang sebagai sosok yang bisa melindungi bagi para santri.
Sifat kebapakan yang dimiliki oleh K. Abdullah-331 inilah yang mencerminkan tingginya EQ. Tingginya EQ yang dimiliki oleh K. Abdullah-331 ini mencerminkan adanya keseimbangan antara kualitas IMTAQ dan IPTEK yang dikuasai olehnya.

3. Kepemimpinan yang dominan berorientasi pada SQ
Kepemimpinan yang cenderung berorientasi pada dominan SQ di PPWU dipresentasikan oleh pola kepemimpinan K. Abdullah-212 dan K. Abdullah-211. Karena baik K. Abdullah-212 maupun K. Abdullah-211 semasa hidupnya menampakkan dirinya sebagai sosok yang: (1) sederhana hidupnya; dan (2) menyukai kehidupan sufistik (thoriqot).
Sifat-sifat tersebut berada pada diri K. Abdullah-212, maka dengan penuh kegigihan K. Abdullah-212 pada waktu itu mengirimkan para anak-anaknya untuk menuntut ilmu agama Islam, baik di Pesantren Tegal Sari maupun Pondok Modern Gontor. Dan selanjutnya setelah mereka menamatkan pendidikannya difasilitasi dengan hartanya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam bagi masyarakat sekitarnya.
Karena bagi K. Abdullah-212, hanya dengan pendidikanlah keadaan masyarakat, khususnya masyarakat Desa Kampung Damai dapat dirubah dari keadaan masyarakat yang jauh menyimpang dari ajaran agama Islam kepada keadaan masyarakat yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pemikiran yang demikian itu bisa dipandang sebagai pemikiran yang bersumber dari kesadaran dan kedalaman spiritual K. Abdullah-212. Karena pemikiran yang demikian ini tidak akan muncul kecuali bagi orang yang memiliki kesadaran dan kedalaman spiritual yang optimal.
Kedua sifat yang berada pada diri K. Abdullah-212 tersebut juga melekat pada diri K. Abdullah-211.Hal ini dengan dibuktikan dengan adanya prilaku, sebagaimana diungkapkan oleh K. Abdullah-313 (salah satu anak K. Abdullah-211 dan juga sebagai Pimpinan PPWU), bahwa K. Abdullah-211 dengan suka-rela ikut membantu ayahandanya dalam membiayai adik-adiknya ketika belajar di Pondok Modern Gontor Ponorogo dan sejak berdirinya PPWU hingga saat ini banyak tanah yang dimilikinya diwakafkan ke PPWU untuk diambil hasilnya guna menghidupi PPWU dalan menjalankan program pendidikan dan pengajaran bagi para santrinya.
Maka pola kepemimpinannya pun tampak dominan berorientasi pada SQ. Dan bisa dipahami bahwa di dunia ini tidak ada seseorang yang begitu banyak menyerahkan hartanya untuk kepentingan agama Islam (yang dalam hal ini adalah untuk kelangsungan PPWU), tanpa dilandasi oleh pengamalan spiritual yang tinggi.
4. Kepemimpinan yang dominan berorientasi pada ESQ
Pola orientasi kepemimpinan K. Abdullah-121 sebagaimana pola orientasi kepemimpinan para pimpinan PPWU sebelumnya dapat dianalisis berdasarkan sifat-sifat utama yang dimilikinya. Semasa hidupnya K. Abdullah-121 memilki sifat dan kebiasaan utama sebagamana yang disampaikan oleh para informan, yang secara umum sebagi berikut: (1) memilki rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap pomdok,(2) dermawan, (3) disiplin, (4) gupuh terhadap tamu, (5) supel terhadap semua orang, (6) peduli terhadap masyarakat, (7) selalu sholat berjama’ah, dan (8) care full terhadap santri.
Yang menjadikan K. Abdullah-121 memilki sifat-sifat dan kebiasaan utama tersebut adalah tidak lepas dari tingkat pendidikan yang diperolehnya, yang tergolong lebih tinggi dari pendidikan yang diperoleh oleh para saudaranya. Sedangkan pengalaman spiritualnya tampaknya dipengaruhi oleh ayahandanya, yakni K. Abdullah-212 yang terkenal dengan prilaku thoriqatnya.
Dengan adanya pengaruh pendidikan yang cukup dan pengalaman spiritual yang diturunkan dari ayahandanya tersebut menjadikan K.H. Abdullah-121 dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan olah spiritualnya secara terus menerus. Sehingga dengan demikian kemampuan dalam memahami IPTEK dan pengalaman spiritualnya (IMTAQ) dapat mempengaruhi pola orientasi kepemimpinannya yang dominan pada kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ).
Sebagai bukti bahwa K. Abdullah-121 selama memimpin PPWU dengan menggunakan pola orientasi kepemimpinan yang cenderung pada orientasi kepemimpinan yang dominan pada ESQ adalah adanya pencak kejayaan pada waktu itu yang selama ini baru dinikmati oleh PPWU ketika K. Abdullah-121 memimpin PPWU. Hal yang demikian itu berlangsung pada kurun waktu pada tahun 1980-an, lebih tepatnya sebagaimana yang diinformasikan oleh ust. Muhklisin-013 (mantan Direktur TMI tahun 1987) pada waktu itu santri di PPWU mencapai sebanyak 3000-an santri putra dan putrid. Disamping itu, semasa kepemimpinannya juga telah berhasil mendirikan lembaga pendidikan tinggi di bawah naungan PPWU dengan nama Instutut Agama Islam Riyadlotul Mujahiddin (IAIRM).
Hal yang demikian itu, bisa dipahami bahwa hanya pemimpin yang memiliki ESQ tinggi saja yang dapat meraih prestasi puncak dalam memimpin sebuah organisasi atau lembaga. Pemimpin yang demikian itu, termasuk didalamnya adalah K. Abdullah-121.
Walaupun para pimpinan PPWU, untuk sementara ini baru K. Abdullah-121 yang tampak memilki orientasi kepemimpinan yang dominant pada ESQ. Sedangkan para pimpinan lainnya, yang sekarang masih menjabat sebagai pimpinan PPWU belum menampakkan karakteristik pemimpin yang memiliki orientasi kepemimpinan pada ESQ. Hal yang demikian itu bukan berarti mereka tidak mampu meraih kepemimpinan yang berorientasi pada ESQ. Mereka akan memiliki orientasi kepemimpinan pada ESQ dengan catatan yang bersangkutan mampu meningkatkan kemampuan IMTAQ dan IPTEK-nya secara bersamaan dan secara seimbang. Dengan demikian kepemimpinan yang berorientasi pada ESQ itu dapat diupayakan oleh siapapun, tergantung bagaimana seseorang dalam meningkatkan kualitas IMTAQ dan IPTEK yang dikuasainya untuk menyeimbangkan kehidupan yang berorientasi pada dunia dan akhirat secara seimbang.
C. Pandangan Kyai terhadap IMTAQ dan IPTEK yang moderat
Kyai dalam perannya sebagai pimpinan sebuah pondok pesantren, memegang peran yang sangat penting dalam mengatur dan mengerakkan potensi yang ada di pesantren yang dipimpinnya. Untuk itu, dalam proses mengatur dan mengerakkan pesantren tersebut dibutuhkan adanya suatu landasan pemikiran yang bersumber dari filosofi hidup yang dianutnya dalam menyikapi persoalan yang sedang dihadapinya. Sehingga kehadiran seorang kyai sebagai pimpinan sebuah pesantren merupakan sebagai sosok tauladan dan sekaligus sebagai panutan bagi semua anggota komunitas pesantren yang dipimpinnya.
Permikiran tersebut tampaknya juga berlaku di PPWU, apalagi PPWU adalah sebuiah pondok pesantren yang termasuk modern, yang tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan pondok pesantren salafiyyah. Pondok pesantren modern (kholafiyyah) memiliki karakteristik yang berbeda sangat menyolok dengan pondok pesantren salafiyyah, terutama menyangkut kesediaan pondok pesantren modern dalam menerima pengaruh dunia luar. Sedangkan pondok pesantren salafiyyah cenderung atau relatif lebih tertutup untuk membuka diri dari pengaruh dunia luar, yang dalam hal ini adalah pengaruh budaya modern.Untuk itu, bisa dikatakan bahwa perubahan apapun yang terjadi di sebuah pondok pesantren merupakan cerminan pandangan hidup dari kyai yang memimpinnya.
PPWU adalah merupakan salah satu pondok pesantren yang tergolong modern (kholafiyyah), tentunya juga memiliki pola pandang tersendiri terhadap IMTAQ dan IPTEK. Bagi komunitas PPWU antara IMTAQ dan IPTEK harus disikapi secara moderat dan keduanya harus diupayakan dan dilaksanakan secara seimbang.
Hal tersebut bisa dipahami dari perilaku keseharian anggota komunitas PPWU yang dilihat dari sistem pelaksanaan peribadatan sehari-hari, yang merupakan cerminan kualitas IMTAQ komunitas PPWU dan pemanfaatan IPTEK oleh komunitas PPWU dalam mewujudkan arah dan tujuan pendidikan dan pengajarannya. Dalam pengingkatan kualitas IMTAQ, khususnya bagi para santri PPWU tidaklah terlalu berat sebagaimana halnya yang dilakukan oleh para santri pesantren salafiyyah. Bagi santri PPWU tidak ada yang meningkatkan kualitas IMTAQ-nya melalui jalur thoriqat (tasawwuf), tetapi mereka hanya diwajibkan untuk melaksanakan ibadah yang berifat fardlu ‘ain secara disiplin yang merupakan salah satu sunnah pondok PPWU. Sedangkan dalam hal memandang kehadiran IPTEK, para kyai di PPWU cenderung akomodatif dengan mengadaptasikannya dengan sunnah pondok. Pendek kata asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan sunnah-sunnah pondok, maka kehadiran IPTEK di tengah-tengah komunitas PPWU bisa diterima. Sebagai contoh, adanya teknologi internet yang sedang menjangkiti seluruh kehidupan umat manusia dewasa ini, di PPWU pun diperkenankan untuk dimanfaatkan bagi penyebaran informasi tentang PPWU kepada masyarakat luas. Sehingga PPWU pun memiliki situs diinternet yang bisa diakses 24 jam dengan alamat: http://www.ppwalisongo.or.id.
Mendasar pada uraian tersebut dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa pandangan kyai di PPWU terhadap IMTAQ dan IPTEK adalah moderat. Artinya kedua hal tersebut dipandang sebagai suatu yang harus diseimbangkan. Dengan cara memanfatkan hasil IPTEK untuk mendukung peningkatan IMTAQ, dan begitu pula kualitas IMTAQ untuk mendasari dan menjadi filter bagi pemanfaatan hasil-hasil IPTEK yang sedang berkembang.
D. Penerapan IPTEK di Pesantren yang dilandasi IMTAQ
Secara umum ketika membicarakan fungsi pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai salah satu tempat seseorang dalam menuntut ilmu agama Islam. Karenanya dalam melaksanakan fungsinya sebagai salah satu tempat untuk menuntut ilmu agama Islam, maka membutuhkan sarana pra sarana yang menunjang pelaksanaan peranya tersebut.
Pemikiran tersebut juga berlaku bagi PPWU yang juga memiliki peran yang menyediakan dirinya sebagai lembaga pendidikan untuk menuntut ilmu agama Islam. PPWU agar bisa menjalankan peranya secara maksimal menggunakan sarana dan prasaran yang berbasis pada pemanfaatan hasil-hasil IPTEK, seprti adanya program komputerisasi dan internet.
Walaupun adanya komputer dan internet yang digunakan sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran agama Islam di PPWU bagi para santrinya, bukan berarti para kyai yang memimpin PPWU tidak memiliki pertimbangan yang matang dalam hal ini. Kyai mengizinkan adanya computer dan internet dalam pembelajaran bagi santrinya, karena memiliki pertimbangan bahwa para santri PPWU telah memiliki bekal nilai-nilai IMTAQ yang memadai untuk memfilter pengaruh buruk dari adanya teknologi computer dan internet. Sehingga bisa dikatakan kualitas IMTAQ para santri PPWU merupakan landasan yang kuat dalam memanfaatkan hasil-hasil teknologi modern, misalnya teknologi kompeter dan internet.
Dengan demikian adanya hasil-hasil IPTEK modern yang dimanfaatkan dalam membantu pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pembelajaran di PPWU tidak dikawatirkan akan merusak kualitas IMTAQ para santri PPWU. Justru akan berfungsi sebagai bahan ujian bagi kualitas IMTAQ para santri yang setiap harinya terus ditingkatkan melalui pendidikan dan pembelajaran agama Islam baik yang dilakukan secara formal di sekolah dengan bimbingan para ustadz, maupun yang dilakukan secara informal melalui bimbingan Majlis Pembimbing Santri (MPS).
Keberadaan MPS di PPWU justru sangat menentukan dalam membimbing santri dalam meningkakan IMTAQ dan sekaligus dalam pengusaan IPTEK seorang santri. Karena keberadaan MPS dalam membimbing santri berlangsung selama 24 jam penuh, sehingga perkembangan IMTAQ dan IPTEK santri dapat diawasi terus-menerus. Dengan pengawasan secara terus-menerus ini antara IPTEK yang kuasai oleh santri dengan kualitas IMTAQ santri bisa diseimbangkan.
E. Pondok Pesantren yang sedang merevitalisasi potensi yang ada untuk “Searching of identity”.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya , bahwa orientasi pengembangan pendidikan dan pengajaran di PPWU di masa yang akan datang akan diarahkan kepada sebuah lembaga pendidikan “unggulan”. Itulah yang disampaikan oleh ust. Muhklisin-004 ketika diwawancarai peneliti. Lebih lanjut ust. Muhklisin-004 menjelaskan yang dimaksud dengan “unggulan” bagi PPWU adalah:
“Bagi santri PPWU di masa mendatang bagi yang ingin mendalami ilmu-ilmu umum diarahkan secara jelas spesialisasinya dengan tanpa kehilangan jati dirinya sebagai santri, yakni memiliki ilmu agam Islam yang standar. Dan sebaliknya bagi santri yang ingin mendalami ilmu agama, juga harus diarahkan secara jelas spesialisasinya dengan tanpa mengalami kebutaan dalam ilmu-ilmu umum, sehingga yang bersangkutan harus memiliki pengetahuan umum yang standar pula”.

Berkaitan dengan orientasi pengembangan pendidikan dan pengajaran di PPWU mendatang ust. Muhklisin-012 mengatakan:
“Di masa yang akan datang PPWU harus berani mengorientasikan pola pendidikannya yang tidak sama dengan Gontor, dan harus menawakan program unggulan yang tingkat keunggulannya tidak dimilik oleh pondok pesantren lain, termasuk Pondok Modern Darussalam Gontor. Untuk itu, PPWU harus memiliki keunggulan lain, selain bidang bahasa, yakni bidang skill, misalnya: (1) skill teknik; dan (2) perekonomian islam. Dengan demikian, PPWU kedepan memerlukan seorang pemimpin yang tiga aspek penting, yakni: (1) intektual; (2) spiritual; dan (3) humas yang ketiga aspek tersebut harus bagus”.

Berdasar pada kedua pokok pikiran yang disampaikan oleh ust. Muhklisin-004 dan ustMuhklisin-012 tersebut, tampaknya PPWU mulai sekarang akan menjadi lembaga pendidikan yang berorientasi pada fragmatisme program. Artinya PPWU di masa yang akan datang harus hadir sebagai lembaga pendidikan yang siap mengantarkan para alumninya untuk siap memasuki lapangan kerja di bidang pelayanan publik, tanpa menghalang-halangi untuk menjadi seorang ustadz atau kyai. Untuk itu PPWU harus segera berbenah diri untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah, setelah mengalami kemandegan, bahkan penurunan baik kuantitas maupun kualitas santrinya pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini.
Namun kesemua pemikiran tersebut ternyata membutuhkan ongkos mahal yang harus dibayarkan untuk mewujudkan keinginan tersebut. Ongkos yang dimaksudkan adalah setidak-tidaknya membutuhkan dedikasi yang tinggi dan perjuangan yang tidak pernah henti. Karena dengan mengadakan perubahan orientasi dari pendidikan dan pengajaran ala Pondok Gontor kearah pendidikan dan pengajaran yang pragmatis itu memerlukan landasan filosofi yang kokoh, agar perubahan orientasi ini tidak berkembang menjadi bumerang yang justru meruntuhkan kebesaran PPWU yang belakangan ini semakin tampak.
Untuk itu, PPWU harus sesegera mungkin mengambil langkah-langkah strategis dengan cara menggali secara intensif potensi yang ada pada dirinya, baik yang bersifat material maupun non material untuk menciptakan identitas baru guna mendongkrak popularitasnya di tengah-tengah masyarakat yang “semakin pandai menilai lembaga pendidikan (pondok pesantren) mana yang dianggap cocok sebagai tempat menuntut ilmu bagi putra-putri mereka”.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Mendasar pada paparan data dan temuan penelitian di Pondok Pesantren Wilayatul Ummah Kampung Damai Ponorogo, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: (1) Kepemimpinan yang berorientasi pada peningkatan IMTAQ, yang disertai dengan peningkatan penguasaan IPTEK akan dapat melahirkan seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional-spiritual (ESQ) yang tinggi, (2) Kyai memiliki pandangan yang moderat terhadap nilai-nilai IMTAQ serta pemanfaatan hasil-hasil IPTEK, (3) Penerapan hasil-hasil IPTEK di pondok pesantren dilandasi oleh nilai-nilai IMTAQ sebagai filter terhadap adanya pengaruh negatif dari IPTEK, (4) Pengembangan pondok pesantren yang berorientasi pada IMTAQ serta hasil-hasilIPTEK akan mengantarkan para alumninya tidak hanya sebagai calon ustadz atau kyai semata, tetapi juga siap dalam memasuki lapangan kerja di bidang pelayanan publik.
Saran-saran
Mendasar pada kesimpulan dari hasil penelitian tersebut, maka peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai berikut: (1) Bagi para pimpinan pondok pesantren dalam memantapkan orientasi kepemimpinannya seyogyanya disertai dengan peningkatan kualitas IMTAQ serta penguasaan IPTEK secara seimbang, sehingga akan melahirkan seorang pemimpin yang memiliki ESQ yang tinggi, (2) Bagi anggota keluarga besar PPWU dalam menyikapi persoalan yang sedang melingkupi PPWU seyogyanya mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan kelompok, keluarga dan pribadi secara arif dan bijaksana, (3) Bagi para santri seyogyanya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu, baik ilmu agama Islam (IMTAQ) maupun ilmu-ilmu umum (IPTEK) guna menyiapkan diri dalam ikut berperan dalam menempati posisi-posisi kemasyarakatan di masa yang akan dating, (4) Bagi para peneliti pondok pesantren, khususnya penelitian terhadap kepemimpinan di PPWU seyogyanya lebih bersikap kritis dan obyektif dalam menganalisis segala permasalahan yang berkaitan dengan aktifitas kepemimpinan di dalamnya.
DAFTAR RUJUKAN
Djojonegoro, W. 1994. Prospek Pendidikan Pesantren Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional Masa Kini dan Masa Mendatang. Makalah disajikan dalam Silaturrahmi dan Sarasehan Ikatan Keluarga Pesantren Darunnajah dalam rangka Milad ke-20 Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta.

Fadjar, A. M. 1998, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam. Jakarta: LP3NI.

Hawari, D.2003. IQ,EQ,CQ & SQ:Kreteria Sumber Daya Manusia (Pemimpin) Berkualitas. Jakarta: FKUI..

Ismail S.M. (Ed.).2002. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hasri, S. 2004. Manajemen Pendidikan: Pendekatan Nilai dan Budaya Organisasi. Malang: Yayasan Pendidikan Makasar (YAPMA).

Kartodirdjo, S. (Peny.). 1990. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES.

Miles, M. B. & Hubermen, A.M. Tanpa Tahun. Analisi Data kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. 1992. Jakarta: Universitas Indonesia.

Moleona, Lexy J.. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rahardjo, M. D. (Ed.). 1995. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.

Sahertian, P. A.1984. Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar