Halaman

Selasa, 01 Juni 2010

ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM (3)

Mukaddimah
Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah:105).
Katakanlah: “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (diantara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang yang dzalim itu akan mendapat keberuntungan”. (QS. Al-An’am:135).
Konsep Kerja Dalam Islam
Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, semua amalan atau pekerjaan yan gmendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak; apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya.
Istilah ”kerja” dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang ataupun malam, dari pagi hingga sore, terus-menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencangkup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga, dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Dengan kata lain, orang yang bekerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, kategori ahli syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yana tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manager, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi sebaliknya Al-Qur’an menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (Al-Falah) itu adalah orang yang banyak takwa kepada Allah, khusyu shalatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS. Al-Mu’minun:1-11).
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seseorang yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Sifat-sifat diataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang didunia dan diakhirat kelak. Jika membaca hadist-hadist Rasulullah SAW. tentang ciri-ciri manusia yang baik disisi Allah, maka tidak heran bahwa diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan sunnah yang banyak dan seumpamanya.
Dalam satu hadist yang diriwayatkan oleh Umar r.a berbunyi: ”Bahwa setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkan…” Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW. bersabda: ”Binasalah orang-orang Islam kecuali mereka yang berilmu”. Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka. Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya yang amat besar…”.
Kedua hadist diatas sudah cukup menjelaskan betapa niat yang disertai dengan keikhlasan itulah inti sebenarnya dalam kehidupan dan pekerjaan manusia. Alangkah baiknya kalau umat Islam hari ini, dapat bergerak dan bekerja dengan tekun dan mempunyai tujuan yang satu, yaitu ”mardatillah” (keridhoan Allah) itulah yang dicari dalam semua urusan. Dari situlah akan lahir nilai keberkahan yang sebenarnya dalam kehidupan yang penuh dengan curahan rahmat dan nikmat yang banyak dari Allah. Inilah golongan yang diistilahkan sebagai golongan yang tenang dalam ibadah, ridha dengan kehidupan yang ditempuh, serta optims dengan janji-janji Allah.
Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW. menjadikan kerja sebagai aktualisasi dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT.
Suatu hari Rasulullah SAW. berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. ”Kenapa tanganmu?” tanya Rasul kepada Sa’ad. ”Wahai Rasullullah,” jawab Sa’ad, ”Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, ”Inilah tangan yang yang tidak akan pernah tersentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasullullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya: ”Wahai Rasullullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabillillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul pun menjawab: ”Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabillillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabillillah.” (HR. Ath-Thabrani).
Bekerja adalah menginfestasikan amal shaleh. Bila kerja itu saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT. menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Tidak berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya. Allah SWT. berfirman:
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (QS. Ar-Ra’d:11).
”Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. Al-Najm:39).
Kisah diawal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasullullah SAW. terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini ”rela” mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong. Rasullullah SAW.,dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasullullah SAW. adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasullullah SAW. sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya. Ada lima peran penting yang diemban Rasullullah SAW. yaitu:
1. Sebagai rasul.
Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Al-Qur’an; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabatnya; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
2. Sebagai kepala Negara dan Pemimpin sebuah masyarakat heterogen.
Tatkala memegang posisi ini Rasullullah SAW. harus menerima kunjungan diplomatik ”negara-negara sahabat”. Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
3. Sebagai panglima perang.
Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang, beliau harus mengorganisasi dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi perang, persediaan logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
4. Sebagai kepala rumah tangga.
Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab lahir batin terhadap para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Ditengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
5. Sebagai seorang pebisnis.
Sejak usia 12 tahun pamannya Abu thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syiria, Jordan, Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain-pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasullullah SAW. terbukti dengan ”terpikatnya” konglomerat Mekkah, Khadizah binti Khuwailid, yang kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahmah dalam bukunya, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (2000:5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negeri Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun.
Adalah kenyataan bila Rasullullah SAW. mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuan, baik itu yang muslim maupun non-muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah paling lainnya.
Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan Rasullullah SAW.?
1. Rasul selalu bekerja dengan cara yang terbaik, professional, dan tak asal-asala. Beliau bersabda: ”Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya”.
2. Dalam bekerja Rasullullah SAW. melakukannya dengan menejemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan skala prioritas.
3. Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. ”Barang siapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tahu kapan ditutupkan kepadanya,” demikian sabda beliau.
4. Dalam bekerja, Rasul selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
5. Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas.
6. Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita bersama.
7. Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedikitpun waktu, kecuali menjadi nilai tambah bagi diri dan umtnya. Dan yang terakhir, Rasullullah SAW. menjadika kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhoan Allah SWT. Inilah kunci terpenting.
Semoga Allah SWT. memberikan kemampuan kepada kita untuk meneladani etos kerja Rasullullah SAW.

1 komentar:

  1. afwan mas..
    arti ayat Al-An'am 135 ada yang salah di bagian akhir mas..
    harusnya: "Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.
    "
    makasi share.nya mas :)

    BalasHapus