Halaman

Selasa, 12 Agustus 2008

Kepemimpinan

TIPE DAN GAYA KEPEMIMPINAN
Oleh: Hariadi,S.Ag.,M.Pd

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, seorang pemimpin dalam menggerakkan organisainya tidak bisa dipisahkan dengan tipe dan gaya atau perilaku kepemimpinannya. Oleh karenanya berikut ini dipandang penting untuk menguraikan tentang tipologi kepemimpinan dan gaya atau perilaku kepemimpinan. Meskipun belum terdapat kesepakatan bulat diantara para pakar kepemimpinan mengenai tipologi kepemimpinan dan gaya atau perilaku kepemimpinan, namun ada baiknya untuk megadakan studi singkat terhadap beberapa tipe kepemimpinan dan gaya atau perilaku kepemimpinan yang secara luas dikenal dan diakui keberadaanya hingga dewasa ini. Tipe-tipe kepemimpinan dan gaya atau perilaku kepemimpinan yang dimaksud akan diuraikan sebagai berikut:
Adakalanya seorang pakar kepemimpinan pendidikan, seperti Newell (1978:223) dalam bukunya, “Human Behavior in Educational Administration”, mengidentifikasi tipologi kepemimpinan menjadi dua tipe kepemimpinan, yakni: (1) status leadership; dan (2) emergent leadership. Dan di lain pihak Newell (1978:224) dalam bukunya yang sama, menyebut: (1) autocratic leadership; (2) laissez-faire leadership; dan (3) democratic leadership, sebagai gaya kepemimpinan (style of leadership). Bahkan, dengan mengutip pendapat Getzels dan Guba (1957) ia juga menyebut: (1) idiografhic ledership; (2) nomothetic ledership ; dan (3) transactional leadership, sebagai gaya kepemimpinan pula.
Lain dengan Newel, adalah Wenfich (1974:94) dalam bukunya, “Leadership in Administration of Vocational and Technical Education”, dengan mengutip pendapat Bowers dan Seashore (1966) menyebut: (1) support; (2) interaction facilitation; (3) goal emphasis; dan (4) work facilitation, sebagai tipe perilaku kepemimpinan (types of leadership behavior).
Sedangkan Sahertian (1994:375-376) dalam bukunya, “Demensi Administrasi Pendidikan”, juga mengutip pendapat Getzels dan Guba (1957) ia juga menyebut: (1) idiografhic ledership; (2) nomothetic ledership ; dan (3) transactional leadership, tetapi disebut sebagai tipe-tipe kepemimpinan. Dilain pihak Rivai (2003:54-55) menyederhanakan tipe kekepmimpinan, dalam bukunya, “Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi”, sebagai berikut: (1) Tipe kpemimpinan otoriter; (2) Tipe kepemimpinan bebas; dan (3) Tipe kepemimpinan demokratis.
Lain lagi dengan Siagian (2003:27-45), dalam bukunya, “Teori dan Praktek Kepemimpinan “, menyimpulkan tipologi kepemimpinan adalah sebagai berikut: (1) Tipe otokratik; (2) Tipe paternalistik; (3) Tipe kharismatik; (4) Tipe laizzes faire; dan (5) Tipe demokratik.
Beberapa pendapat para pakar administrasi pendidikan tersebut memang sengaja dikutip secara singkat, hanya untuk menunjukkan betapa bervariasinya pendapat mereka dalam mengelompokkan tipe dan gaya atau perilaku kepemimpinan, serta penggunaan istilah yang mereka pergunakan masing-masing. Kenyataan ini, rupanya bisa dipandang betapa rumitnya masalah pengkategorian tipe dan gaya atau perilaku kepemimpinan, serumit para pakar kepemimpinan dalam mendefinisikan pengertian kepemimpinan itu sendiri.
Hal tersebut sebagaimana Bass & Stogdill (1974:11) menyimpulkan bahwa terdapat hampir sama banyaknya definisi tentang kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Selanjutnya Bass & Stogdill (1974:11-18), mengungkapkan bahwa kepemimpinan sebagai konsep manajemen dapat dirumuskan dalam berbagai macam definisi, tergantung dari mana titik tolak pemikirannya.
A. Tipe Kepemimpinan
Dalam pembahasan tipe kepemimpinan dalam uraian berikut ini disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural masyarakat kita, khususnya masyarakat yang melingkupi dunia Pesantren. Di samping itu, juga ada pertimbangan lain yang mendasari pemilihan tipologi kepemimpinan, yakni pentingnya melihat dari sudut pandang: (a) persepsi seorang pimpinan tentang peranannya selaku pimpinan; (b) nilai-nilai yang dianut; (c) sikap dalam mengemudikan jalannya organisasi; (d) perilaku dalam memimpin; dan (e) gaya kepemimpinan yang dominan (Siagian:2003:28).
Dengan demikian tipologi kepemimpinan yang akan diuraikan berikut ini mengacu pada tipologi yang dirumuskan oleh Siagian (2003:27-45), dalam bukunya, “Teori dan Praktek Kepemimpinan “, yang menyimpulkan tipologi kepemimpinan adalah sebagai berikut: (a) Tipe otokratik; (b) Tipe paternalistik; (c) Tipe kharismatik; (d) Tipe laizzes faire; dan (e) Tipe demokratik.
(a). Tipe Otokratik
Tipe kepemimpinan yang otokratik memiliki serangkaian karakteristik yang dapat dipandang sebagai karakteristik yang negatif. Ia dipersepsikan sebagai seorang pemimpin yang sangat egois. Egoismenya yang sangat besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang sebenarnya sehingga sesuai dengan apa yang secara subyektif diinterpretasikan sebgai kenyataan. Sehingga seorang pemimpin yang otokratik melihat peranaannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional, seperti kekuasaan tidak perlu dibagi dengan orang lain dalam organisasi, ketergantungan total para anggota organisasi menganai nasib masing-masing dan lain sebagainya.
Keadaan yang demikian itu, pada gilirannya seorang pemimpin yang otokratik cenderung menganut nilai organisasi yang berkisar pada pembenaran segala cara yang ditempuh untuk pencapaian tujuan. Suatu tindakan akan dinilainya benar apabila tindakan itu mempermudah tercapainya tujuan dan semua tindakan yang menjadi penghalang akan dipandangnya sebagai sesuatu yang tidak baik dan dengan demikian akan disingkirkannya, apabila perlu dengan kekerasan.
Sedangkan bila dilihat dari sikapnya seorang yang bertipekan kepemimpinan otoriter akan menonjolkan ke-“akuan”-nya dalam bentuk: (i) kecenderungan memperlakukan para bawahan sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin atau robot, dan kurang menghargai harkat dan martabat bawahan sebagai manusia; (ii) pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan bawahan; dan (iii) pengabaian peranan bawahan dalam proses pengambilan keputusan dengan cara memberitahukan kepada para bawahan tersebut, bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan mereka diharpkan dan dituntut untuk tinggal melaksanakan saja.
(b). Tipe Paternalistik
Tipe kepemimpinan yang paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya di masyarakat yang agraris. Popularitas pemimpin yang paternalistik dicirikan oleh beberapa faktor, seperti; (1) kuatnya ikatan primordial; (2) “extended family sistem”; (3) kehidupanmasyarakat yang komunalistik; (4) peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat; dan (5) masih dimungkinkannya hubungan pribadi yang intim antara seseorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.
Seacara umum persepsi seorang pemimpin yang paternalistik tentang peranannya dalam kehidupan organisasional dapat dikatakan diwarnai oleh harapan para pengikutnya kepadanya. Harapan itu pada umumnya berwujud keinginan agar pemimpin mereka mampu berperan sebagai “bapak” yang bersifat melindungi dan yang layak dijadikan sebagai tempat bertanya dan untuk memperoleh petunjuk.
Kenyataan yang demikian itu mendorong para bawahan menghararapkan kepada seorang pemimpin yang paternalistik untuk mempunyai sifat yang tidak mementingkan diri-sendiri, melainkan memberikan perhatian terhadap kepentingan dan kesejahteraan para bawahannya. Akan tetapi sebaliknya, pemimpin yang paternalistik mengaharapkan bahwa kehadiran atau keberadaanya dalam organisasi tidak lagi dipertanyakan oleh orang lain. Dengan perkataan lain, legitimasi kepemimpinannya dipandang sebagai hal yang wajar dan normal, dengan implikasi organisasionalnya, seperti kewenangan memerintah dan mengambil keputusan tanpa harus berkonsultasi dengan para bawahannya. Pendek kata, legitimasi kepemimpinannya berarti penerimaan atas peranannya yang dominan da;am kehidupan organisasional.
Dalam praktek organisasianal seorang pemimpin yang paternalistik mengutamakan kebersamaan, yang tercermin dalam kata-kata, seperti “seluruh angggota organisasi adalah anggota satu keluarga besar” dan pernyataan-pernyataan lain yang sejenis. Pada gilirannya akan muncul suatu prilaku organisasi yang menonjolkan aspek kepentingan bersama dan cenderung bersikap seragam dalam segala hal perilaku organisasinya. Artinya, pemimpin yang bersangkutan berusaha untuk memperlakukan semua orang dan semua satuan kerja yang terdapat di dalam organisasainya se-adil dan se-merata mungkin. Dalam organisasi yang demikian ini tidak terdapat penonjolan orang atau kelom[pok tertentu, kecuali sang pemimpin dengan dominasi keberadaanya yang telah disinggung pada uraian di atas.
Nilai-nilai tersebut mengejawantahkan sikap seorang pimpinan yang menyebabkan hubungan atasan dengan bawahan lebih bersifat informal, ketimbang hubungan formal yang biasanya terdapat pada pemimpin yang bertipe otokratik. Hanya saja, hubungan yang bersifat informal tersebutdilandasi oleh pandangan bahwa para bawahan itu belum mencapai tingkat kedewasaan sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat dibiarkan bertindak sendiri. Lebih tegasnya, dalam konteks kepemimpinan yang paternalistik ada pandangan yang mengatakan bahwa di mata seorang pemimpin paternalistik para bawahannya dianggap belum dewasa dalam cara bertindak dan berpikir sehingga mereka memerlukan bimbingan dan tuntunan terus menerus.
(c). Tipe Kharismatik
Tipe kepemimpinan kharismatik ini adalah tipe kepemimpinan yang dipandang sulit untuk dianalisis, karena literatur yang ada tentang kepemimpinan kharismatik tidak memberikan petunjuk yang cukup. Artinya, tidak banyak hal yang dapat disimak dari literatur yang ada tentang kepemimpinan kharismatik ini.Memang ada karaktristiknya yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang kharismatik adalah seorang yang dikagumi oleh banyak pengikut, meskipun para pengikutnya tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara kongkrit, mengapa orang (pemimpin kharismatik) tersebut dikagumi.
Seorang pemimpin kharismatik, penampilan fisik ternyata bukan menjadi ukuran yang berlaku umum, karena ada pemimpin yang dipandang sebagai pemimpin kharismatik, yang kalau hanya dilihat dari penampilan fisiknya saja sebenarnya tidak atau kurang mempunyai daya tarik. Usia pun tidak selalu dapat dijadikan ukuran. Sejarah telah membuktikan bahwa seorang yang berusia relatif muda pun mendapat julukan sebagai pemimpin yang kharismatik. Jumlah harta yang dimilikinya pun tampaknya tidak bisa digunakan sebagai ukuran. Ada orang yang tergolong sebagai pemimpin yang kharismatik ternyata dari sudut kebendaan ia tergolong miskin.
Mungkin karena kekurangan pengetahuan untuk menjelaskan sesuai dengan kreteria ilmiah mengenai kepemimpinan yang kharismatik, maka orang akhirnya cenderung mengatakan bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki “kekuatan ajaib” yang tidak mungkin dijelaskan secara ilmiah, yang menjadikan orang-orang tertentu itu dipandang sebagai pemimpin yang kharismatik.
Sungguh sangat menarik untuk memperhatikan bahwa para pengikut seorang yang kharismatik tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap dan perilaku serta gaya yang digunakan oleh pemimpin yang dikutinya itu. Bisa saja seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang otokratik atau diktatorial, para pengikutnya tetap saja setia kepadanya. Mungkin seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang paternalistik, tetapi ia tetap tidak kehilangan daya pikatnya. Daya tariknya pun tetap besar bila ia menggunakan gaya yang demokratik atau partisipatik.
(d). Tipe Laissez Faire
Tipe kepmimpinan laissez faire ini seperti halnya tipe kepemimpinan kharismatik, literatur tentang kepemimpinan juga tidak banyak membahas tipe kepemimpinan ini. Meskipun demikian, hal-hal berikut dapat dikemukakan sebagai karakteristik utama pemimpin yang laissez faire. Seorang pemimpin yang laissez faire berpandangan, bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan olah masing-masing angota dan seorang pimpina tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional. Boleh dikata, seorang pemimpin yang laissez faire melihat peranannya sebagai “polisi lalu-lintas”. Dengan anggapan bahwa para anggota organisasi sudah mengetahui dan cukup dewasa untuk taat kepada peraturan permainan yang berlaku, dan ia cenderung memilih peranan yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakkan.
Keadaan yangdemikian itu menjadikan seorang yang memiliki tipe kepemimpinan laissez faire akan menampakkan sikap yang permisif dalam memimpin organisasi dan para bawahannya. Artinya, bahwa para anggota organisasi boleh saja bertindak sesuai dengan keyakinan dan bisikan hati nuraninya, asal saja kepentingan bersama tetap terjaga dan tujuan organisasi tetap tercapai. Prilaku yang permisif ini, cenderung memperlakukan bawahan sebagai rekan sekerja, hanya saja kehadirannya sebagai pemimpin diperlukan sebagai akibat dari adanya struktur dan herarki organisasi.
Selanjutnya menurut Siagian (2003:39-40) gaya kepemimpinan yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) pendelegasian wewenang terjadi secara ekstentif; (2) pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan kepada para petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata menuntut keterlibatannya secara langsung; (3) status quo operasional tidak terganggu; (4) penumbuhan dan pengembangan kemampuan berfikir dan bertindak yang inovatif dan kreaktif diserahkan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri; dan (5) sepanjang dan selama para anggota organisasi menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang memadai, intervensi pimpinan dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum.
(e). Tipe Demokratik
Pada umumnya, baik dikalangan ilmuwan, maupun praktisi manajemen terdapat kesepakatan bahwa tipe pemimpin yang ideal dan paling didambakan adalah pemimpin yang demokratik. Namun demikian pada umumnya pemimpin yang demokratik tidak selalu merupakan pemimpin yang efektif dalamkehidupan organisasional, karena ada kalanya dalam hal bertindak dan mengambil keputusan bisa terjadi keterlambatan, yang disebabkan sebagai konskuensi dari keterlibatan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Pemimpin ini memandang dan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai subyek yang memiliki kepribadian dengan berbagai aspeknya, seperti dirinya juga. Kemauan, kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat kreatifitas, dan inisiatif yang berbeda-beda akan dihargai dan disalurkan secara wajar (Rivai:2004:55). Yang menonjol dari pemimpin ini adalah dalam mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah, yang diwujudkan pada setiap jenjang dan di dalam unit masing-masing. Dia memandang peranan dirinya di dalam organisasi sebagai koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi, yang gilirannya sehingga organisasi bergerak sebagai totalitas (Siagian:2003:40).
Seorang pemimpin yang demokratik akan dihorati dan disegani, dan bukan ditakuti, tetapi karena perilakunya dalam kehidupan organisasional. Perilakunya mendorong para bawahannya untuk menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Pendek kata, dia menempatkan unsur manusia dalam organisasi pada posisi yang paling sentral, dan akan sangat bangga bila para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang lebih tinggi atau lebih baik dari kempuannya sendiri.
Ia memimpin dengan pendekatan “people centered”, yang menurut Siagian (2003:44) biasanya mengejawantah dalam berbagai hal, sebagai berikut: (1) memandang bahwa betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu bagi dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan dan di amnfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi; (2) dalam kehidupan organisasional tidak mungkin, tidak perlu dan bahkan tidak boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pimpinan dan oleh karenanya selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang praktis dan realistik tanpa kehilangan kendali organisasional; (3) pera bawahan diliobatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran-sertanya dalam proses pengambilan keputusan; (4) kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan para bawahan sebagai makhluk politik, makhluk ekonomi, makhkluk sosial dan sebagai individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas, yang mempunyai kebutuhan yang sangat komplek. Mulai yang bersifat kebendaan, seperti sandang, pangan dan papan, serta meningkat kepada kebutuhan yang bersifat keamanan, kebutuhan sosial, dan kebutuhan pengakuan status hingga kepada kebutuhan yang bersifat mental spiritual; dan (5) berusahan memperoleh pengakuan yang tulus dari para bawahan atas kepemimpinan orang yang bersangkutan, yang didasarkan kepada pembuktian kemampuan memimpin organisasi dengan efektif, bukan sekedar karena kepemilikan wewenang formal yang melekat pada dirinya dengan berdasarkan pengangkatannya.
Walaupun demikian, dalam praktek kepemimpinan organisasi kelima tipe tersebut saling mengisi dan saling menunjang secara bervariasi, yang disesuaikan dengan situasinya sehingga akan menghasilkan kepemimpinan yang efektif.
B. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah kecenderungan perilaku pemimpin yang ditunjukkan saat ia mempengaruhi bawahannya. Berdasar pada studi kepemimpinan yang dilakukan Ohio State University pada tahun 1945, Hersey & Blanchard (1972:73) mengemukakan klasifikasi kecenderungan perilaku pemimpin menjadi dua kecenderungan, yaitu: (1) perilaku yang bersifat direktif atau otokratis dinamakan initiating structure; dan (2) perilaku yang bersifat supportif atau demokratis dinamakan consideration.
Perilaku Struktur Inisiasi (initiating structure) adalah perilaku pemimpin yang cenderung mengacu pada tuntutan organisasi dalam mencapai tujuan, berdasarkan otoritas pemimpin dalam struktur organisasi dan bersifat memberikan pengarahan. Perilaku ini tampak pada tuntutan yang relatif tinggi terhadap bawahan dalam mematuhi peraturan atau tata tertib yang berlaku secara disiplin, pengawasan amat ketat, komunikasi satu arah (dari atasan ke bawahan), menetapkan peranan bawahan, memberi tahu kepada bawahan tentang apa yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, di mana dan kapan pekerjaan tersebut harus dikerjakan.
Perilaku Konsiderasi (Consideration) adalah perilaku pemimpin yang cenderung memenuhi kebutuhan individu atau personalia yang ada di dalam organisasi yang dipimpinnya. Perilaku ini tampak pada perhatian pemimpin yang lebih bersar terhadap pemenuhan kebutuhan anggota organisasi yang dipimpinnya dengan mengikutsertakan bawahan dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, komunikasi berlangsung dua arah antara pimpinan dengan bawahan, suka mendengarkan dan memperhatikan pendapat bawahan, serta pengawasan tidak terlalu ketat.
Kedua perilaku pemimpin tersebut (Initiating Structure dan Consideration), bila kombinasikan menghasilkan empat gaya kepemimpinan sebagai berikut; (1) gaya kepemimpinan instruksi; (2) gaya kepemimpinan konsultasi; (3) gaya kepemimpinan partisipasi; dan (4) gaya kepemimpinan delegasi. Keempat gaya kepemimpinan tersebut dapat digambarkan oleh Hersey dan Blanchard (1972) sebagaimana gambar berikut:
GAMBAR: II-3
Gaya Kepemimpinan
+





- - +
Sumber : Diadaptasi dari Hersey & Blanchard.1972. Managemant of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources. Prentice-Hall, Inc.. Englewood Cliffs. New Jersey. P. 74.
Keterangan:
Garis Horisontal: Menggambarkan perilaku Initiating Structure pemimpin (I), makin ke kanan makin inten perilaku Initiating Structure (I)-nya, begitu pula sebaliknya makin ke kiri makin berkurang perilaku Initiating Structure (I)-nya.
Garis Vertikal : Menggambarkan perilaku Consideration pemimppin (C), makin ke kanan makin inten perilaku Consideration (C) –nya, begitu pula sebaliknya makin ke kiri makin berkurang perilaku Consideration (C) –nya.
G 1 = Gaya Instuksi ( I = + ; C = - )
G 1 = Gaya Konsultasi ( I = + ; C = + )
G 1 = Gaya Partisipasi ( I = - ; C = + )
G 1 = Gaya Delegasi ( I = - ; C = - )
(a). Gaya Instruksi (G 1)
Gaya Instruksi adalah gaya kepemimpinan dimana perilaku Initiating Structure-nya relatif berkadar tinggi dan perilaku Concideration-nya relatif berkadar rendah.Indikatornya, antara lain: (a) Pemimpin banyak memberikan pengarahan dan sedikit memberi kesempatan bawahan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan; (b) Instruksi yang diberikan kepada bawahan sangat terperinci dan secara spesifik; (c) Pengawasan dilakukan secara ketat; (d) Proses komunikasi searah dari atas ke bawah (top down); (e) Peranan bawahan dibatasi; dan (f) Inisiatif pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dating dari pimpinan serta pimpinan menentukan “apa”, “bagaimana” dan “bilamana” bawahan melaksanakan tugasnya.
(b). Gaya Konsultasi (G 2)
Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan perilaku Initiating Structure-nya relatif berkadar tinggi dan perilaku Concideration-nya juga relatif berkadar tinggi.Indikatornya, antara lain: (a) Pemimpin banyak memberikan pengarahan, tetapi juga banyak memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berpartisipasi; (b) Pemimpin banyak memberikan penjelasan tentang keputusan yang diambil, tetapi juga banyak mendengarkan pendapat dan saran bawahannya; (c) Pemimpin memberi kesempatan kepada bawahan dalam setiap proses pengambilan keputusan, akan tetapi ia masih memberikan pengarahan dan pengawasan terhadap pelaksanaanm tugas yang dilakukan bawahannya; (d) Pemimpin banyak mendengarkan pendapat bawahan dan mendorong bawahan untuk melaksanakan tugas sesuai degan aturan-aturan organisasi yang berlaku; dan (e) Pemimpin dan bawahan bertukar pendapat dalam proses pemecahan masalah dan pengambolan keputusan. Dengan demikian proses komunikasinya dua arah.
(c). Gaya Partisipasi (G 3 )
Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan perilaku Initiating Structure-nya relatif berkadar rendah dan perilaku Concideration-nya juga relatif berkadar tinggi.Indikatornya, antara lain: (a) Pengarahan dan pengawasan pimpinan berkurang, sebaliknya ia lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan pendapat dan saran bawahan; (b) Pemimpin lebih banyak memberikan kesempatan kepada bawahan dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah; (c) Pemimpin memberikan dorongan kepada bawahan dan memberikan bimbingan kepada bawahan dalam pemecahan permasalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri oleh bawahan; (d) Pemimpin menganggap bawahan sebagai mitra kerja, sehingga hubungan kerja bersifat kolegial.
(d). Gaya Delegasi (G 4)
Gaya kepemimpinan ini ditandai oleh adanya perilaku Initiating Structure-nya relatif berkadar rendah dan perilaku Concideration-nya juga relatif berkadar rendah pula.Indikatornya, antara lain: (a) Pemimpin relatif sering mendelegasikan wewenang dan tanggungjawab kepada bawahan dalam pelaksanaan program kerjanya; (b) Bawahan mendapat kesempatan yang luas dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah; (c) Pemimpin menaruh kepercayaan pada kemampuan bawahan dalam melaksanakan tugas yang diberikan dan meyakini bahwa bawahan dapat memikul tanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya dan dapat menyelesaikan tugas tersebut tepat pada waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar