Halaman

Selasa, 01 Juni 2010

Islam Dan Etos Kerja

Tidak sempurna memahami atau salah memahami ajaran justru akan membuat penganut ajaran tersebut terperangkap dalam pandangan dan praktek di luar ajaran. Memahami Islam hanya sebatas ritual ‘ubudiyyah atau upacara peribadatan yang sempit ternyata mengakibatkan tidak sedikit muslim mengabaikan banyak tuntunan yang disampaikan Islam lewat dua sumber utamanya, yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw..
Allah Ta’ala berfirman: “Dan kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (An-Nahl : 89).
Rasulullah saw. tidak membiarkan suatu perkara pun yang mendekatkan diri kita kepada Allah melainkan beliau menyuruh kita untuk melakukannya; dan tidak membiarkan suatu perkara pun yang menjauhkan diri kita dari Allah melainkan beliau melarang kita untuk melakukannya. Sehingga, beliau meninggalkan kita di atas mahajjah (jalan lurus; petunjuk) yang terang, malamnya sama seperti siangnya, tidak ada seorang pun yang sesat dari petunjuk itu melainkan ia seorang yang binasa—hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.
Dari itu maka seluruh sisi yang dipesankan Islam kepada pemeluknya, berada pada satu rotasi, yaitu ‘ubudiyyah dan penghambaan yang total kepada Allah Ta’ala. Islam sendiri menolak pemecahan pesan-pesannya. Al-Qur’an mengecam keras sikap Bani Isra’il yang tidak beriman dengan seluruh pesan-pesan syariat mereka: “Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan yang pantas bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah : 86). Untuk itu Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.“ (Al-Baqarah : 208).
Ada lima pilar Islam yang dikenal dengan rukun Islam. Semangat lima pilar ini mengalir deras dalam berbagai kewajiban dan larangan yang telah ditetapkan oleh Islam secara tegas, dan dalam berbagai perbuatan yang ditujukan untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Semangat lima pilar ini adalah penyerahan diri serta tunduk patuh secara total kepada Allah Ta’ala semata (islamul wajhi lillah). Dari itu orang yang tidak melaksanakan shalat dengan orang yang berdusta, dalam Islam, adalah pada posisi yang sama, yaitu pelaku maksiat. Orang yang mengingkari kewajiban shalat dan kewajiban berkata jujur dalam Islam dihukum sebagai seorang yang telah mengingkari perkara-perkara yang diketahui secara pasti bagian dari agama.

Kewajiban Bekerja Dalam Islam
Salah satu bagian dari syari’at Islam adalah kewajiban bekerja, dan keharaman berpangku tangan serta bermalas-malasan bagi orang yang berkemampuan untuk bekerja.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang mu’min, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah : 105).
Allah juga berfirman: “Apabila shalat telah dilaksanakan, makabertebanlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah:10)
Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang mengambil tali-talinya lalu pergi ke bukit dan memikul setumpuk kayu di atas punggungnya lantas menjualnya sehingga dengan demikian Allah mencukupkan baginya [rezeki] yang dibutuhkan (untuk hidupnya) itu adalah lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang-orang lain baik mereka memberikan maupun tidak.” (Hadits riwayat Al-Bukhari)
Bahkan Allah Ta’ala telah memerintahkan para nabi-Nya untuk berusaha mencari rezeki. Firman Allah kepada Nabi Muhammad saw.: “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (Asy-syarh : 7-8).
Allah juga berfirman: “Sesungguhnya pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan – urusan yang panjang.” (Al-Muzammil : 7).
Dan firman Allah Ta’ala kepada keluarga Dawud: “Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba – hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba’ : 13).
Para nabi merupakan contoh nyata dari sikap menghargai nilai bekerja bagaimanapun kecil pekerjaan itu. Nabi Nuh a.s. adalah seorang pemahat. Ia memahat sendiri kapalnya. Nabi Dawud adalah seorang pandai besi. Ia membuat perisai dengan tangannya dan Allah Ta’ala telah melunakkan besi untuknya. Nabi Musa a.s. sepuluh tahun mengembala kambing milik Nabi Syu’aib a.s. sebagai mahar nikah salah seorang putrinya. Nabi Muhammad saw. mengembala kambing, memperdagangkan harta Sayyidah Khadijah r.a. dan lainnya.
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang tidak akan dapat memakan makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabiyullah Dawud makan dari [hasil] kerja tangannya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berusaha di muka bumi ini agar dapat memperoleh rezeki yang telah ditentukan untuk mereka. Ini dikarenakan Allah telah mengatur sebab seseorang memperoleh rezeki adalah lewat ia berusaha dan bekerja keras. Di samping itu, kerja juga merupakan pokok utama untuk membangun agama dan dunia sekaligus, dan merupakan wahana vital untuk melaksanakan berbagai amal ibadah lainnya. Pahala dan kedudukan seorang hamba di sisi Allah Ta’ala akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia berusaha dan bagaimana keikhlasannya dalam berusaha.
Allah Ta’ala berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Al-Mulk : 15).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Ia telah mempersiapkan bumi dan menyediakannya agar dapat dimanfaatkan sebagai tempat manusia bergerak dan berusaha. Bumi telah ditundukkan untuk dapat merespon aktivitas manusia sehingga ia dapat mengeluarkan rezeki bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Allah telah memuliakan manusia, menganugerahkan kepadanya berbagai nikmat sehingga ia lebih tinggi dari seluruh makhluk-Nya yang lain. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Kepadanya dipikulkan beban untuk memakmurkan bumi, untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman, bukan untuk merusak dan menumpahkan darah. Beban besar ini tidak akan terlaksana apabila manusia berdiam diri, bermalas-malasan. Beban ini pun bukan diarahkan untuk sebagian manusia, tidak sebagian yang lain. Di setiap pundak manusia terpikul beban ini. Dan karena itu setiap manusia yang memiliki tenaga dan kemampuan untuk bekerja, tapi ia memilih untuk tidak bekerja, maka ia telah menyalahi amanat yang telah dibebankan oleh Pencipta dan Pemberi berbagai anugerah kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dia telah menjadikan kamu dari tanah dan menjadikanmu pemakmurnya.” (Hud:61)
Maknanya: Allah menuntut manusia untuk membangun dan menghidupkan seluruh manifestasi peradaban dalam berbagai sektor kehidupan. Setiap mu’min yang melaksanakan tuntutan tersebut, maka ia telah melaksanakan suatu ‘ubudiyah kepada Allah Ta’ala sekalipun ia seorang yang sehari-harinya bekerja sebagai kuli bangunan atau pesuruh di sebuah perkantoran.
Rasulullah saw. yang merupakan teladan umat manusia di berbagai sisi hidup beliau juga telah menunjukkan berbagai teladan yang amat luhur dalam hal pemanfaatan waktu, perencanaan, ketekunan dan ketelitian dalam berbuat, serta pembagian tugas yang tepat dan sesuai keahlian masing-masing para sahabat. Karena itu semua maka Nabi saw. dalam waktu yang relatif singkat dapat mewujudkan berbagai kerja nyata yang belum tentu dapat diwujudkan oleh suatu balatentara yang memiliki fisik tangguh, kecerdasan serta keahlian.
Nilai suatu kerja juga demikian tinggi dalam pandangan para sahabat Rasulullah saw.. Abu Bakr r.a. adalah seorang pedagang kain dan pakaian. Pada hari ia dibai’at sebagai khalifah, ia pergi ke pasar untuk mencari sesuatu yang bisa dikerjakan di pasar sekalipun ia seorang hartawan pada masa sebelum Islam, tapi pada masa Islam, harta kekayaannya telah diinfakkan di jalan menegakkan Islam. Melihat hal itu para sahabat lain melarang Abu Bakr untuk berdagang lantaran kuatir akan mengganggu kerja berat yang sedang pikulnya. Lalu dibiayai secukup keperluan pokok hidupnya dari Baitul Mal. Dan sebelum meninggal Abu Bakr berpesan untuk mencabut dan mengembalikan jatah biaya hidup tersebut ke Baitul Mal. Demikian pula para sahabat-sahabat yang lain; ‘Umar adalah seorang agen/perwakilan; ‘Utsman dan ‘Ali kedua-duanya pedagang; ‘Amru bin Al-‘Ash tukang potong daging.
‘Umar bin Al-Khaththab r.a. pernah mengatakan, “[Kuharap] jangan ada di antara kalian orang yang berpangku tangan lalu berdoa’: Ya Allah berikanlan kepada rezeki. Sebab kalian tahu bahwa langit tidak menurunkan emas dan perak.”
Langit menurunkan hujan. Bumi berinteraksi dengan tetesan hujan yang jatuh di atasnya. Tanpa usaha dan olahan tangan manusia, maka tidak akan ada hasil, takkan ada panen, takkan ada bekal, takkan berlangsung kehidupan, takkan ada gerak di muka bumi. Andaikata pun langit menurunkan emas dan perak, tapi jika tanpa ada tangan-tangan yang bekerja, sungguh manusia pun akan kelaparan, telanjang, tak bertempat tinggal, tak bisa menyembuhkan dirinya dari penyakit dan sebagainya. Oleh karena itulah Islam menekankan kerja produktif dan melarang penggunaan harta kekayaan pada hal-hal yang tidak bermanfaat, untuk menutup keperluan dan kebutuhan masyarakat.
Suatu kali ‘Umar r.a. melihat Zaid bin Maslamah sedang menanam tanaman di tanahnya, maka ‘Umar mengatakan kepadanya, “Benar sekali perbuatanmu itu! Engkau tidak menggantungkan hidupmu kepada orang lain adalah cara terbaik untuk memelihara agamamu, dan termulia untuk menjaga martabat dirimu.”
‘Umar r.a. juga pernah mengatakan, “Sesungguhnya aku memandang seorang pemuda, maka aku kagum kepadanya. Lantas aku menanyakan kepadanya apakah dia punya suatu pekerjaan. Lalu dijawab tidak, maka jatuh nilai pemuda itu dalam pandanganku.”
Islam tidak hanya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang ahli ibadat dan berperilaku zuhud semata tapi Islam juga hendak mewujudkan masyarakat yang bekerja dan penuh dinamika. Masyarakat yang kuat agama dan dunianya. Masyarakat yang mampu menghidupi dirinya sendiri lewat tangan-tangan anggotanya yang tekun, otak-otak yang kreatif dan tenaga-tenaga yang berpengalaman. Masyarakat konsumtif yang melulu menggantungkan hidupnya pada produk masyarakat lain adalah masyarakat yang tidak bertahan lama, lemah, cenderung tergoda dengan angan-angan palsu hingga akhirnya tersungkur dalam kemunduran serta pada gilirannya akan terpola sebagai masyarakat pengekor bagi masyarakat yang dinamis, maju, kaya, dan cerdas.
Suatu kali ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal bersifat wara’ dan zuhud, “Bagaimana pendapat Anda mengenai seseorang yang duduk-duduk saja di rumah atau mesjidnya sambil berkata, ‘Aku tidak mau mengerjakan suatu pekerjaan pun sampai rezeki datang sendiri kepadaku.’?” Imam Ahmad serta merta menjawab, “Itu orang yang tidak berpengetahuan. Tidakkah ia tahu bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rezekiku di bawah bayang tombakku.”
Rasulullah saw. sendiri bekerja mencari rezeki. Tombak adalah alat untuk bekerja; menyemai, berburu dan lainnya. Bayang tombak akan ada saat dipergunakan untuk bekerja di siang hari. Suatu ungkapan yang sarat makna, penuh nuansa dinamis.

Amal shalih
Kerja atau perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala adalah perbuatan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat sekaligus (amal shalih). Allah berfirman: “Dan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, pasti akan Kami hapus kesalahan – kesalahannya dan mereka pasti akan Kami beri balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.“ (Al-’Ankabut : 7).
“Dan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka pasti akan Kami masukkan ke dalam (golongan) orang yang saleh.“ (Al-’Ankabut : 9).
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia – nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki – laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain…” (Al ’Imran : 195).
“Sesungguhnya orang – orang yang beriman, orang – orang Yahudi, Sabi-in dan orang – orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.” (Al-Ma’idah : 69).
Sementara perbuatan mengganggu, merugikan dan menekan orang lain, apalagi menguasai hidup orang lain serta mengeksploitasi tenaganya secara semena-mena untuk keuntungan pribadi adalah amal fasid (buruk). Bahkan seluruh perbuatan yang tidak bermanfaat adalah amal fasid—sekalipun tidak merugikan atau membahayakan orang lain secara langsung—oleh karena tenaga dan waktu yang terbuang percuma pada sesuatu yang tidak bermanfaat padahal waktu dan tenaga adalah modal utama untuk mencari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Firman Allah Ta’ala: “Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan : 23).
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ’Ad? (yaitu) penduduk Iram (ibukota kaum ’Ad) yang mempunyai bangunan – bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri – negeri lain, dan (terhadap) kaum Samud yang memotong batu – batu besar di lembah, dan (terhadap) Fir’aun yang mempunyai pasak – pasak (bangunan yang besar), yang berbuat sewenang – wenang dalam negeri, lalu mereka banyak berbuat kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan cemeti azab kepada mereka, sungguh, Tuhanmu benar –benar mengawasi.“ (Al-Fajr : 6 – 14).
“Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka, malah mereka berbuat kezaliman di bumi tanpa (alasan) yang benar. Wahai manusia! Sesungguhnya kezalimanmu bahayanya akan menimpa dirimu sendiri ; itu hanya kenikmatan hidup duniawi, selanjutnya kepada Kamilah kembalimu, kelak akan Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.“ (Yunus : 23).
“Dan Kami telah mendatangkan kepada mereka tanda – tanda (kekuasaan) Kami, tetapi mereka selalu berpaling darinya, dan mereka memahat rumah – rumah dari gunung batu, (yang didiami) dengan rasa aman. Kemudian mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur pada pagi hari, sehingga tidak berguna bagi mereka, apa yang telah mereka usahakan.“ (Al-Hijr : 81 – 84).
Allah telah memerintahkan setiap individu dan masyarakat untuk menyucikan diri sekaligus meningkatkan taraf hidup mereka dengan amal shalih dan bermanfaat, dan melarang segala praktek usaha dan pemanfaatan harta pada jalan-jalan yang dilarang oleh syari’at serta bertentangan dengan moral seperti berusaha lewat profesi-profesi yang tidak diperbolehkan oleh syari’at atau dengan memperdagangkan benda-benda yang diharamkan. Sebab hal ini akan mengakibatkan berbagai ketimpangan dalam kehidupan masyarakat, di samping pintu akan terbuka lebar bagi berbagai penyakit sosial yang sukar untuk dipulihkan sehingga tidak jarang terlihat berbagai praktek usaha yang terlarang dalam hukum Islam justru melahirkan kemiskinan dan kemunduran di berbagai lapisan masyarakat serta menumbuhkan berbagai penyakit sosial seperti pengrusakan alam, budaya sogok menyogok, penipuan, kedengkian, egoisme, pembunuhan dan berbagai tindak kriminal.
Allah Ta’ala berfirman: “Maka adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah – mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” (Al-Qashash : 67).
“Tetapi orang – orang yang dianugerahi ilmu berkata, ‘Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang – orang yang sabar.” (Al-Qashash : 80).
“Barangsiapa kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barangsiapa mengerjakan kebajikan maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan), agar Allah memberi balasan (pahala) kepada orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dari karunia-Nya. Sungguh Dia tidak menyukai orang – orang yang ingkar (kafir).” (Ar-Rum : 44, 45).
“Dan bukanlah harta atau anak – anakmu yang mendekatkan kamu kepada Kami; melainkan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda atas apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat – tempat yang tinggi (dalam surga).” (Saba’ : 37).
Dari itu masyarakat muslim dituntut untuk berpegang kuat pada nilai-nilai keadilan yang luhur, dan atas dasar nilai-nilai ini ia bekerja dan berusaha dengan segenap tenaga sehingga ‘ubudiyyahnya kepada Allah Ta’ala adalah lewat berusaha memapankan kehidupan dunianya bukan dengan meninggalkan dunia. Sebab, masyarakat yang isi perutnya bergantung pada orang lain adalah masyarakat yang tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, bahkan dalam kondisi tertentu sampai tidak memiliki kebebasan untuk menjalankan kewajiban agamanya.

Kualitas Kerja
Kualitas dan mutu suatu kerja amat dipentingkan dalam Islam. Allah Ta’ala telah menyuruh setiap muslim untuk memperhatikan keindahan dan kesempurnaan ciptaan-Nya.
Firman Allah Ta’ala: “Dan engkau akan melihat gunung – gunung, yang engkau kira tetap ditempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sesungguhnya Ia Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (An-Naml : 88).
“Sibghah (celupan) Allah, siapa yang lebih baik sibghahnya dari pada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah.“ (Al-Baqarah : 138).
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik – baiknya.“ (At-Tin : 4).
“Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.“ (Al-Mu’minun : 14).
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis – lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?“ (Al-Mulk : 3).
“Dan kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya (ke tempat pengembalaan). Dan ia mengangkut beban – bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.“(An-Nahl: 6-8)
“Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangunnya dan menghiasinya, dan tidak terdapat retak-retak sedikitpun?“ (Qaf:6)
“Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan tidak serup. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang beriman.“ (Al-An’am:99)
Hal ini ditujukan agar muslim dapat memetik pelajaran bahwa setiap perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan hendaknya selalu memenuhi nilai-nilai standart kualitas tinggi.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai dari kamu orang yang apabila ia mengerjakan suatu pekerjaan, ia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh (sempurna).”
Untuk mewujudkan kesempurnaan dalam suatu pekerjaan, seorang muslim dituntut untuk mendalami seluk beluk bidang yang ditekuninya, berpola pikir kreatif serta gigih sehingga mampu berkarya dan produktif. Allah Ta’ala telah meletakkan hukum-hukum dan aturan-aturan bagi alam ini, yang merupakan pedukung utama kesuksesan dan kemajuan orang-orang yang kreatif dan gigih. Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah tertulis di dalam Az-Zikr (lauf mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih.” (Al-Anbiya’:105).
Orang-orang shalih yang dimaksud adalah para pekerja produktif yang dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam berbagai pekerjaan, penelitian, karya cipta dan kemajuan mereka.

Keikhlasan dalam Bekerja.
Islam menuntut keikhlasan dalam bekerja sebab ia merupakan bagian dari ’ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Bukan banyak atau sedikit hasil yang diperoleh dari suatu kerja yang menjadi ukuran nilai di sisi Allah Ta’ala, tapi justru kerja keras dan keikhlasan itu sendiri yang akan diganjar oleh Allah Ta’ala dengan pahala. Dari itu Rasulullah saw. pernah bersabda, “Apabila datang hari kiamat, dan [kebetulan] di tanganmu ada tunas kurma [yang hendak kau tanam], maka jangan sampai kagalauan hari kiamat menghentikanmu untuk menanamkan kurma tersebut.”
Demikian penting kerja sehingga dalam kondisi di mana kepanikan lumrah terjadi, keputusasaan wajar timbul dalam benak manusia, namun Rasulullah saw. melarang muslim untuk berhenti bekerja. Tidak ada alasan dengan demikian untuk menghentikan kerja. Terkadang berbagai pintu usaha terlihat seperti tertutup. Allah Ta’ala telah memberikan kepada manusia akal untuk berpikir serta berbagai karunia lainnya agar manusia dapat membenah jalan hidupnya. Perasaan diri lemah dan putus asa justru menjerumuskan manusia kepada kecurigaan bahwa Allah tidak menyayangi dirinya. Dan ini adalah suatu hal yang dilarang dalam Islam. Hasil suatu kerja, Allah yang menentukan, tapi manusia diwajibkan untuk berikhtiar dengan segenap kemampuannya sebagai suatu wujud ‘ubudiyyah kepadanya. Bahkan ‘ubudiyyah yang sederajat dengan berjihad di jalan Allah.
Pernah suatu kali Rasulullah saw. sedang duduk bersama para sahabat beliau. Lalu, lewat seorang pemuda di depan mereka. Seorang pemuda yang gagah dan penuh energik. Pagi sekali ia pergi untuk bekerja mencari rezeki. Para sahabat saling komentar,“Sayang sekali pemuda itu! Andaikan tenaga muda dan kegagahannya itu dipergunakan fi sabilillah (bejihad di jalan Allah)!! Namun Rasulullah saw. ketika itu menegur mereka,“Jangan kalian berkata demikian! Sesungguhnya apabila ia berusaha mencari rezeki untuk dirinya agar dia tidak perlu meminta-minta dan menggantungkan hidupnya kepada orang lain, maka dia itu sedang fi sabilillah. Dan apabila ia berusaha mencari rezeki untuk menafkahkan kedua orang tuanya atau anak-anaknya yang lemah (karena masih kecil atau sebab lainnya) supaya mereka dapat hidup berkecukupan dan tidak perlu bergantung pada orang lain, maka dia sedang fi sabilillah. [Tapi] apabila pergi berusaha karena untuk berbangga-bangga dan bermegah-megahan, maka ia sedang di jalan syaitan.“ (Hadits riwayat At-Thabrani).
Nabi saw. menyetarakan perbuatan orang yang berusaha untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan jihad fi sabilillah yang merupakan salah satu ’ubudiyyah tertinggi di dalam Islam. Apabila berusaha merupakan salah satu praktek ’ubudiyyah, maka keikhlasan niat untuk mencapai ridha Allah Ta’ala adalah sesuatu yang paling pokok atau rukun agar ’ubudiyyah tersebut diterima oleh Allah.
Dengan keikhlasan niat yang demikian, seorang muslim akan terus menjaga gerak geriknya dalam berusaha agar ia tidak sampai melakukan sesuatu di luar garis batas syari’at Allah. Rasulullah saw. telah bersabda,“Tidak ada sesuatu perbuatan yang aku ketahui akan mendekatkan diri kalian kepada syurga serta menjauhkan kalian dari neraka melainkan aku telah menyuruh kalian untuk mengerjakannya. Dan tidak ada sesuatu perbuatan yang aku ketahui akan menjauhkan diri kalian dari syurga dan mendekatkan kalian kepada neraka melainkan aku telah melarang kalian mengerjakannya. Sesungguhnya Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) telah membisikkan ke dalam hatiku bahwa seseorang tidak akan mati sampai dengan ia memperoleh rezekinya sekalipun tidak langsung datang. Maka bertaqwalah kepada Allah dan baguskan diri kalian pada saat berusaha mencari rezeki! (Hadits riwayat Ahmad)
Membaguskan diri ketika mencari rezeki, yang dimaksud oleh Nabi saw. dalam hadits ini adalah dengan tetap memiliki harga diri, tidak bersikap munafik dan menjilat; dengan penuh ketenangan batin dalam iman kepada Allah Ta’ala; serta melalui jalan-jalan yang dianjurkan oleh syari’at sehingga terwujud sikap membaguskan diri dengan perilaku-perilaku yang mulia.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan satu sabda Rasulullah saw.,”Makanan yang paling halal dimakan oleh seorang hamba adalah hasil jerih payah tangannya apabila dia ikhlas.” (Hadits riwayat Ahmad). Yakni ikhlas dalam pekerjaan, profesi dan pelaksanaan tugasnya, serta dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dengan selalu memantau keridhaan Allah Ta’ala dalam dia berusaha baik itu menyangkut produk yang dipersembahkan bagi konsumen, pelayanan yang disuguhkan maupun lainnya.
Pekerjaan atau perbuatan bermanfaat (amal shalih) yang dilakukan atas dasar iman kepada Allah Ta’ala dan dengan hati ikhlas mengharap keridhaan-Nya akan menjamin taraf kehidupan yang baik di dunia serta pahala di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman: “Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka ia mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.” (Al-Kahf:88)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriaman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Al-Qur’an menceritakan tentang pembangunan tembok penghalang yang dilakukan oleh Dzul Qarnain untuk keamanan orang-orang yang lemah dari sekelompok orang yang suka memamerkan kekuatan di depan korban-korban mereka. Suatu pembangunan yang dilakukan bukan demi tujuan-tujuan materialistis, politis, atau duniawi lainnya, tapi hanya demi kepentingan rakyat kecil dan lemah. Ketika rakyat lemah ini menawarkan upah kepadanya, Dzul Qarnain menjawab: “Apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan, agar aku dapat membuat dinding penghalang antara kamu dan mereka.” (Al-Kahf:95). Dengan kata lain: Tidak penting bagiku upah dari kalian. Allah telah menganugerahkan kepadaku kekuatan memimpin yang wajib aku syukuri dan kumanfaatkan untuk meraih ridha-Nya. Yang aku harap dari kalian hanya kerja sama dengan mengerahkan segenap tenaga agar apa yang kita inginkan tercapai. Kualitas kerja tim Dzul Qarnain tergambar dari sifat tembok yang dibangun mereka: “Maka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya.” (Al-Kahf:97). Sesudah Dzul Qarnain merampungkan tugas tersebut, ia sadar bahwa segenap tenaga dan kekuataan dalam kerja tersebut adalah berasal dari Allah Ta’ala, dan ia menyampaikan kepada kaum tesebut bahwa tembok ini adalah rahmat dari-Nya dan tidak akan bertahan untuk selamanya; Dzul Qarnain seperti ingin mengatakan bahwa sekalipun tembok ini demikian kokoh, tapi ia tidak akan dapat menghentikan kekuasaan Allah Ta’ala. “Dia (Dzul Qarnain) berkata, “(Dinding) ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku sudah datang, Dia akan menghancurluluhkannya; dan janji Tuhanku itu benar.” (Al-Kahf:98).
Ucapan Ibrahim bin Adham, seorang tokoh sufi besar, mengenai keutamaan bekerja dan berusaha, patut untuk direnungi. Ketika orang-orang menganggap rendah Ibrahim bin Adham gara-gara ia bekerja sebagai pengumpul kayu bakar untuk menghidupi dirinya, Ibrahim bin Adham mengatakan, “Sesungguhnya telah sampai kepadaku suatu riwayat hadits bahwa barangsiapa yang bersedia berada pada status rendah demi mencari rezeki yang halal, maka wajib baginya syurga.”
Abu Sulaiman Ad-Darani yang juga tokoh sufi besar, “Ibadah menuruh hemat kami bukan dengan engkau merapatkan kaki di dalam barisan shalat sedangkan orang lain mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhan kamu. Mulai dengan dua potong rotimu, cari keduanya, kemudian baru engkau beribadat!”
Apabila kaum muslimin tidak mau merendahkan diri mereka dengan kemuliaan bekerja dan berusaha; dengan peras keringat serta banting tulang; dan dengan mengurus urusan kebutuhan pokoknya lebih dahulu, maka mereka tidak berharga sekalipun surban dan jubah yang dipakainya. Karena bagaimana pantas seorang yang mampu bekerja memperoleh kehormatan jika selalu menengadahkan tangan dan menjadi beban orang lain. Islam tidak menyuruh berpangku tangan dan bermalasan-malasan, dan karena itu Islam tidak memuliakan orang yang berperilaku demikian.
Dari itu patut bagi setiap muslim di samping memakmurkan mesjid, ia juga memakmurkan berbagai lapangan kerja. Jika kondisi muslimin lemah di bagian dunia, maka tentu musibah dan berbagai petaka pun akan melanda mereka di bagian agama dan akhirat. Perkembangan yang disaksikan selama ini dalam wujud rongrongan budaya yang masuk deras ke daerah-daerah kaum muslimin yang papa bersama bantuan-bantuan materil yang dibawa oleh pihak-pihak yang tidak terikat tali persaudaraan aqidah dengan kaum muslimin, hendaknya menjadi dentuman keras yang menjagakan insan muslim sedaerah untuk cepat bangkit berusaha dan bekerja dengan giat di berbagai lapangan sesuai keahlian masing-masing bagaimanapun rendah dan kecilnya kerja tersebut. Satu hal barangkali ada baiknya diingat sebelum akhir bahwa hari ini bukan hari raya bagi orang yang dititipkan harta berlimpah oleh Allah Ta’ala, dan bukan hari duka bagi mereka yang papa, tapi adalah hari kerja. Hartawan dengan kekayaan dan dermanya berusaha menciptakan lapangan kerja; kaum fakir dengan tenaga dan segenap kemampuannya bekerja keras. Wallahul Musta’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar