Halaman

Senin, 02 Juli 2012

IMPLEMENTASI SKB LIMA MENTERI ANTARA CITA DAN FAKTA
Oleh: Hariadi, S.Ag.,M.Pd


Terbitnya SKB 5 Menteri (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Agama), yang diterbitkan 3 Oktober 2011, sebenarnya merupakan kesepakatan antara para Menteri terkait dalam mendukung pemantauan, evaluasi, kebijakan penataan, dan pemerataan Guru PNS. Hal ini sesuai dengan salah satu konsideran SKB 5 Menteri tersebut pada huruf (b) menyebutkan, “bahwa untuk menjamin pemerataan guru antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan, antarkabupaten/kota, dan/atau antarprovinsi dalam upaya mewujudkan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan formal secara nasional dan pencapaian tujuan pendidikan nasional, guru pegawai negeri sipil dapat dipindahtugaskan pada satuan pendidikan di kabupaten/kota, dan provinsi lain”.
Sesuai dengan kosideran tersebut, maka bisa dipahami bahwa SKB 5 Menteri tersebut memiliki “cita-cita” yang luhur, yakni untuk “menata dan memeratakan” Guru PNS di seluruh wilayah Indonesia agar antara daerah (kabupatan/kota dan provinsi) yang satu dengan daerah lainnya tidak terdapat kesenjangan (kelebihan atau kekurangan) Guru PNS pada tiap-tiap jenjang pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK) pada tiap-tiap daerah tersebut. Sehingga diharapkan proses demokratisasi dalam bidang pendidikan akan lebih cepat diwujudkan, khususnya dibidang pemenuhan kebutuhan guru pada tiap-tiap daerah. Pada gilirannya guru-guru PNS yang ditugaskan di daerah-daerah tersebut akan memiliki peran yang signifikan dalam berpartisipasi pada proses pendidikan bagi warga masyarakat di daerah tersebut. Inilah yang penulis maksudkan sebagai upaya percepatan dalam proses demokratisasi pendidikan.
Apalah artinya sebuah cita-cita kalau tanpa adanya suatu upaya untuk mewujudkan cita-cita tersebut ? Menurut hemat penulis hal yang demikian itu hanya sebagai suatu khayalan belaka. Namun kenyataannya SKB 5 Menteri tersebut bukanlah suatu khayalan, tetapi sebuah kenyataan dan keniscayaan yang harus ditaati oleh semua komponen bangsa, khususnya oleh Guru PNS yang nota bene memang disebut dalam SKB 5 Menteri tersebut.
Dalam rangka menindak lanjuti amar yang terkandung dalam SKB 5 Menteri tersebut, maka Kepala Daerah (Bupati/Wali Kota) memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Kantor Kementerian Agama memerintahkan Kasi Mependa untuk merlaksanakan pemetaan dan pendistribusian Guru PNS yang ada di wilayah kerja masing-masing dengan mempertimbangkan kewajiban minimal 24 jam mengajar (Permendiknas No. 39 tahun 2009) bagi setiap Guru.
Khusus bagi Guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik professional, baik Guru PNS ataupun Non PNS kewahjiban minimal 24 jam mengajar tersebut harus mengajar sesuai dengan peruntukan sertifikat pendidik yang dimilikinya. Jika yang bersangkutan tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut, maka yang bersangkutan tidak dapat menikmati Tunjangan Profesi Pendidik (TPP). Sehingga setelah adanya SKB 5 Menteri tersebut, maka disinyalir akan banyak Guru yang sudah tersertifikasi tidak bisa menikmati TPP-nya.
Hal tersdebut bisa terjadi karena untuk memenuhi kewajiban mengajar minimal 24 jam pelajaran dan sesuai dengan sertifikat pendidik yang dimilikinya, banyak guru yang mengalami kesulitan. Kenapa demikian ? Karena kadang-kadang di sekolah tempat tugasnya jumlah jam mengajarnya kurang atau sertifikat pendidiknya tak sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya.
Sebenarnya baik Dinas Pendidikan maupun Mapenda telah melakukan pemetaan dalam rangka pemerataan tersebut, namun kenyataannya usaha tersbut tidak serta merta menyelesaikan masalah. Justru menimbulkan masalah baru, yakni banyak Guru yang telah memilki sertifikat pendidik tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar minimal 24 jam pelajaran yang sesuai dengan sertifikat yang dimilikinya. Bahkan akibat kekurangan kewajiban jam mengajar tersebut banyak Guru yang diperintah mencari sendiri sekolah lain yang dimungkinkan mendapatkan tambahan jam mengajar yang sesuai sertifikat pendidiknya. Akibatnya, Guru yang mencari tambahan jam mengajar di sekolah lain tersebut terkesan “rebutan jam pelajaran”.
Menghadapi persoalan tersebut seyogyanya para pejabat yang memiliki kewenangan dalam melaksanakan penataan dan pemerataan Guru harus segera menacari jalan keluar yang terbaik bagi semua pihak, baik bagi para Guru maupun bagi pemerintah itu sendiri. Setidak-tidaknya dalam hal ini bila ditingkat Kabupaten/Kota adalah Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dengan Mapenda Kemenag Kabupaten/Kota untuk duduk satu meja dalam “mitra-kesejajaran” untuk membeber data dalam rangka tukar tukar-menukar Guru yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah yang ada di bawah kewenangan masing-masing. Bukan, sepertinya saling menutup diri untuk “menerima dan memberi” kelebihan atau kekurangan Guru dari masing-masing sekolah yang dibawah kewenangnnya. Sehingga luka lama adanya “dikotomi” pengangkatan Guru NIP 15 dan NIP 13 tidak semakin terkuak lebar dan para Guru pun akan menjadi korban yang diakibatkan adanya SKB 5 Menteri tersebut.
Jika solusi tersebut tetap belum bisa dijalankan, ada solusi lain yang dapat dilakukan yakni dengan mengadakan rasionalisasi jumlah siswa dalam setiap kelas yang di suaikan dengan standar nasional yang telah ditentukan sebanyak 32 siswa per kelas. Namun jika solusi ini dilakukan akan berakibat pada kuangnya ruang kelas yang cukup untuk menampung kelebihan siswa dari yang dulunya per kelas antara 40-44 siswa, menjadi 32 siswa per kelas. Dengan demikian akan dimungkinkan Guru yang ada di sekolah tersebut dapat memenuhi kekurangan kewajiban jam mengajar minimal 24 jam pelajaran. Namun ini juga beresiko jika di sekolah tersebut tidak memiliki ruang kelas yang kosong, akibatnya pemerintah berkewajiban membangun ruang kelas baru untuk memenuhi kekurang ruang kelas tersebut.
Akhirnya meskipun SKB 5 Menteri tersebut bertujuan untuk mengatasi kekurangan dan kelebihan Guru PNS pada masing-masing daerah, jika kebijakan ini tidak segera dituntaskan secara bijak oleh para pejabat yang berwenang di masing-masing daerah maka akan melahirkan kesenjangan antara cita dan fakta dalam penataan dan pemerataan guru PNS sebagaiman yang diamanatkan dalam SKB 5 Menteri tersebut, dan Guru pun akan dilanda ke-“galau”-an yang berkepanjangan.

1 komentar: